Beberapa hari lalu sejumlah organisasi yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Mereka mengadukan Ketua sekaligus seluruh Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) karena telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu.
Koalisi menganggap seluruh anggota KPU RI periode 2022–2027 telah melanggar kewajiban hukum dan etika untuk mengakomodir paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif (bacaleg) di Pemilu DPR dan DPRD tahun 2024.
Padahal, ketentuan tersebut merupakan perintah eksplisit dari Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lebih parahnya lagi, pengabaian hukum oleh seluruh anggota KPU tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan melanggar perintah hukum Putusan Mahkamah Agung No.24 P/HUM/2023 dan Putusan Bawaslu No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023.
Perempuan dan Pemilu ternyata masih menjadi problem pelik yang belum selesai di negara ini. Meskipun sudah banyak aturan yang dibuat untuk menjadi affirmative action agar jumlah perempuan di parlemen bisa mengimbangi jumlah laki-laki.
Sebenarnya apa yang terjadi sehingga jumlah keterwakilan perempuan tak mencapai jumlah yang diharapkan? Bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam politik dan bagaimana politik yang cenderung maskulin bisa menjadi area yang ramah bagi perempuan?
Endah Lismartini dari politikindonesia.id, mewawancarai Annisa Alfath, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk mendapatkan jawaban tentang hal ini. Berikut petikan wawancaranya:
Pemilu Indonesia berjalan dengan banyak catatan, salah satunya adalah jumlah keterwakilan perempuan yang tidak sampai 30%. Mengapa sampai terjadi seperti ini?
Kalau bicara keterwakilan perempuan, sebenarnya jumlah keterwakilan perempuan di parlemen juga tidak sampai 30%. Banyak faktor yang membuat itu tidak terwujud. Mulai dari regulasi kita, kemudian parpol dengan kader yang tidak mendukung dalam kontestasi. Misalnya parpol yang mencantumkan caleg perempuan di nomor urut 1 itu masih sedikit. Jadi parpol terkesan tidak serius. Banyak politisi perempuan yang juga dilepas begitu saja, tidak tidak dibantu strateginya untuk menang pileg.
Lalu ada penyelenggara pemilu yang juga tidak menjalankan putusan MA tentang syarat keterwakilan perempuan dalam pencalonan. Seperti kasus di Gorontalo 6, yang jumlah perempuannya tidak sampai 30%, tapi KPU tetap menjalankan pemilihan. Maka keluar putusan MA untuk melakukan pemilihan suara ulang, tapi itu juga tidak dilakukan.
Lalu ada lagi faktor sosial budaya yang sering mengatakan perempuan hanya bisa di ranah domestik. Makanya sampai sekarang mengejar keterwakilan perempuan di parlemen masih susah tercapai 30%.
Hal lain adalah banyaknya tekanan terhadap politisi perempuan yang mendapat kekerasan dalam politik. Sehingga mereka khawatir untuk mercaonkan diri.
Kekerasan dalam politik ini maksudnya bagaimana?
Kekerasan dalam politik banyak bentuknya. Misalnya terjadi objektifikasi terhadap kandidat perempuan oleh pesaing laki-laki. Salah satunya dengan kata-kata: perempuan cukup di rumah saja, ada juga politisi yang secara vulgar mengatakan “perempuan dicoblos malam-malam saja.” Itu kan kalimat yang seksis dan melecehkan. Itu terjadi dalam kontestasi.
Begitu juga dengan kekerasan psikologi. Ada kecenderungan politisi perempuan hanya dijadikan simbol saja. Tapi ketika terpilih, justru laki-laki yang memaksa mereka membuat kebijakan adalah suami atau laki-laki di sekitarnya. Jadi kehadiran mereka tidak sungguh-sungguh dianggap ada.
Di mana letak akar masalahnya, apakah di parpol, KPU atau di pemerintah sehingga affirmative action tentang jumlah keterwakilan perempuan tidak berjalan?
Iya, betul. Banyak faktor yang kemudian mempengaruhi tidak terpenuhinya jumlah keterwakilkan perempuan. Tapi seharusnya KPU bisa mem-provide untuk terwujud 30% keterwakilan jumlah perempuan. Tapi sayangnya KPU juga tidak melakukan atau tidak mem-provide itu.
Kenapa KPU tidak melakukan itu, apakah KPU tidak punya nyali?
Iya betul. KPU berani mengabaikan putusan MA, dan seterusnya. Tapi mungkin itu juga terjadi karena komposisi jumlah komisioner KPU juga minim perempuan. Keterlibatan perempuan saat kurang. Jadi bukan hanya di parlemen, tapi di semua ranah. Dampaknya banyak kebijakan yang tidak ramah gender, tidak ramah anak, juga kelompok marginal lainnya. Kalau KPU ramah gender, maka mereka mereka juga akan ramah pada kelompok minoritas lainnya. No one left behind. Tapi karena keterwakilan jumlah perempuan masih jauh dari harapan.
Apakah kita kekurangan jumlah perempuan, sehingga jumlah perempuan sulit terpenuhi?
Untuk mengisi posisi strategis jumlah perempuan memang masih minim. Parlemen masih belum memenuhi itu semua. Sebenarnya yang perlu dibangun adalah bagaimana kita bisa membangun dan menciptakan lingkungan yang mendukung itu semua. Kita perlu menciptakan aktor-aktor yang mendukung agar keterwakilan perempuan dalam politik dan ranah kebijakan publik lain bisa terpenuhi.
Mengapa keterwakilan perempuan dalam politik sangat penting?
Itu balik lagi ya. Keterwakilan perempuan memang penting untuk mendorong kebijhakan yang ramah gender, anak dan kelompok marjinal. Itu tiga kaitan yang selama ini tidak tepikir oleh para pemangku kebijakan laki-kaki. Kebijakan publik kan harusnya bersikap inklusif ya. Kalau tidak inklusif itu berarti tidak demokratis. Jumlah keterwakilan perempuan yang setara dalam pemilihan juga adalah simbol Pemilu yang demokratis.
Bagaimana mengaitkan jumlah perempuan dengan keberpihakan pada anak, kelompok marjinal dan pemilu yang demokratis?
Jadi begini, perempuan ini seperti punya cctv, yang bisa dikatakan lebih dekat dengan kelompok minoritas lain dalam politik, sehingga memiliki kesamaan rasa dengan kebijakan terhadap anak dan kelompok marjinal lainnya. Ini seperti memiliki kesamaan yang sama dan sering bersama dengan kelompok marjinal lain, yaitu membentuk perasaan senasib sehingga bisa saling men-support, memberi dukungan satu sama lain. Itu penjelasan mengapa keterwakilan perempuan terkait erat dengan kebijakan publik tentang anak dan kelompok marjinal lainnya.
Apakah jumlah keterwakilan perempuan dalam politik bisa dianggap mewakili perjuangan kepentingan dan kebutuhan perempuan dalam politik?
Seharusnya bisa, kalau saja itu dilakukan bukan karena formalitas Secara substansial bisa melahirkan kebijakan dengan perspektif gender, kelompok anak dan minoritas. Tapi kalau kita tarik persyaratan perempuan sudah 30%, tapi apakah mereka ditaruh di nomor urut 1. Apakah di 3 posisi teratas ada 2 perempuan? Bisakah parpol menerapkan sistem zipper yang adil? Apakah mereka, para politisi perempuan itu dibantu pendanaan, strategi pemenangan, dan lain lain? Kalau satu hari nanti kita bisa melakukan itu, maka itu harus kita apresiasi.
Tapi kita harus tetap melawan agar teman-teman di parlemen bisa membuat kebijakan dengan perspektif yang ramah gender, anak dan kelompok minoritas lainnya. Kita juga harus terus mengawal dan melakukan check and balances.
Indonesia kuat dengan budaya patriarki, apakah itu juga memengaruhi dominasi politik nasional sehingga politik Indonesia menjadi sangat maskulin?
Ini memang menjadi sebuah lingkaran setan. Cara kerja parpol hari ini sangat pragmatis, parpol yang kemudian orientasinya adalah mendapat suara sebanyak-banyaknya. Maka parpol kemudian memilih kader laki-laki agar mudah terpilih. Lalu kader laki-laki ini melawan kader parpol lain yang perempuan, Kemudian mereka bisa kampanye seksis dan patriarkis. Kampanye seksis dan patriarkis ini akhirnya menguatkan stigma di masyarakat tentan perempuan. Kampanye itu diterima publik sebagai stigma baru dan diamini. Hasilnya, perempuan jadi tak terpilih lagi.
Harusnya parpol punya fungsi edukasi. Mereka juga bisa mengedukasi publik bahwa perlu punya perwakilan perempuan di parlemen dan ranah publik lainnya. Sehingga akan lahir kebijakan yang lebih berpihak dan membela perempuan. Sayangnya banyak parpol tidak melakukan itu.
Saat ini masyarakat sipil makin serius memperjuangkan keterwakilan perempuan. Tapi pemerintah bergeming. Cara apalagi yang akan dilakukan agar pemerintah mau ikut turun tangan soal keterwakilan perempuan, bukan sekadar membuat aturan tentang jumlah keterwakilan perempuan?
Untuk kemudian mendorong keterwakilan perempuan bukan hanya cara-cara regulasi, kita bisa membangun atmosfer politik yang ramah untuk perempuan. Kita bisa bentuk dan lakukan edukasi ke masyarakat, atau kita bisa berikan pendidikan politik pada politisi perempuan, karena kadang mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah penyintas politilk. Perempuan yang hari ini ada di parlemen atau di ranah publik lainnya adalah mereka yang sebelumnya dipinggirkan oleh budaya dan laki-laki, tapi akhirnya mereka berhasil berada di tempat itu karena banyak perempuan yang berjuang untuk mereka. Ini yang harus diingatkan.
Perlu juga bikin strategi politik agar mereka yang masuk dalam kandidat calon anggota parlemen bisa memenangkan pemilihan. Perludem pernah bikin pendidikan untuk caleg perempuan. Banyak di antara para caleg ini yang setelah diajukan kemudian ditinggalkan kandidat lak-laki. Kami juga bikin capacity building untuk kandidat perempuan agar bisa memenangkan kontestasi. Kita juga harus terus melakukan advokasi dalam kebijakan publik, karena kebijakan akan sangat berpengaruh pada ruang gerak perempuan. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved