Masih ingat ketika Abdurrahman Wahid naik ke kursi Presiden RI pada 1999. Ketika itu banyak orang dibuat terperangah. Betapa tidak? Ketika mengumumkan kabinetnya, dua departemen –Departemen Penerangan dan Departemen Sosial—dibubarkan. Alasannya, sederhana, penerangan dan urusan sosial jelas sudah melekat pada diri masyarakat.
Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur memang tak lama-lama duduk di kursi panas kepresidenan. Agustus 2001, Gus Dur lengser lewat sidang tahunan MPR. Dan, Megawati naik menjadi Presiden RI. Lalu, lewat Kabinet Gotong Royong, Mega menghidupkan kembali “Departemen Penerangan” lewat Syamsul Muarif (Wakil Sekjen Partai Golkar 1998-2003) yang menempati jabatan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Departemen Sosial juga dibuka lagi dengan menempatkan salah seorang Ketua Partai Persatuan Pembangunan Bachtiar Chamsjah.
Sebagaimana diketahui, komunikasi dan informasi menjadi faktor yang sangat strategis bagi kelanggengan sebua orde pemerintahan. Orde yang menguasai betul informasi dan komunikasi akan mampu bertahan dalam tempo relatif lama. Bisa dirunut kembali ingatan betapa Departemen Penerangan di masa silam menjadi mesin pembangun image mantan Presiden Soeharto di mata rakyat, terutama di kalangan petani, nelayan, dan pedagang kecil.
Ke depan, siapa pun yang naik menjadi presiden diharapkan tidak bisa seenaknya membubarkan dan membentuk sebuah departemen. Setidaknya begitulah angin yang berhembus dari para wakil rakyat di Senayan awal Mei ini. Lewat Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Tosari Wijaya menyetujui RUU Kementerian Negara.
Juru bicara Fraksi Reformasi Mutamimul ‘Ula menekankan bahwa pada dasarnya RUU Kementerian Negara merupakan ketentuan yang mengatur susunan dan kedudukan, pembentukan, pengubahan dan pembubaran, tugas, fungsi dan wewenang, pengangkatan dan pemberhentian Menteri Negara dan larangan rangkap jabatan.
Fraksi Reformasi menegaskan RUU tersebut memberikan rambu-rambu yang jelas untuk pengangkatan dan pemberhentian seorang menteri sehingga pada masa yang akan datang tidak akan ada lagi pengangkatan dan pemberhentian seorang menteri yang semata-mata didasarkan faktor-faktor politik pragmatis.
"Sebelum adanya RUU ini, presiden bisa secara sepihak saja membubarkan Kementerian negara tanpa melibatkan dewan. Padahal selaku wakil rakyat, kita juga harus dilibatkan," papar politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini.
Fraksi Reformasi minta agar RUU Kementerian Negara diarahkan untuk mengatur keberadaan departemen-departemen yang terkait dengan fungsi negara yaitu menjaga ketertiban umum, mensejahterakan rakyat, menegakkan hukum dan keadilan serta melakukan hubungan luar negeri.
Dalam pemandangan umum fraksi, F-PPP menekankan kementerian negara yang harus ada adalah kementerian negara yang menurut UUD 1945 sebagai trium virat yaitu kementerian negara yang mengurusi hubungan luar negeri, dalam negeri dan pertahanan.
Atas bergulirnya RUU Kementerian Negara ke tataran DPR, Dwi Ria Latifa, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menilai, ada kesan DPR ingin memperkuat kekuasaannya. "DPR sudah over dosis," ucapnya menanggapi soal naskah Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara.
Orang dekat Megawati itu menilai bahwa rekan-rekannya di Senayan sudah terlampau jauh mencampuri urusan eksekutif. DPR dinilai cawe-cawe terlalu dalam terhadap urusan presiden, khususnya menyangkut pembentukan dan pembubaran kementerian negara yang seharusnya menjadi hak prerogatif presiden.
DPR yang sekarang ini sering disebut berada dalam posisi legislative heavy terus berusaha mempertahankan kekuasaannya bahkan memperkokoh kekuasaannya terhadap kekuasaan eksekutif.
Penilaian senada disampaikan oleh pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Daniel Yusmic. “Roh RUU ini lebih mengarah pada DPR heavy atau istilah umumnya legislative heavy. Ini lebih banyak memberikan kekuasaan kepada DPR. Padahal, soal ini lebih afdol diberikan sepenuhnya kepada presiden,” ucapnya tandas.
Daniel berpendapat keadaan ini akibat pengaruh pendulum ke DPR heavy. DPR merasa tak mau dilangkahi presiden dalam pembentukan kabinet. “Ini trauma dari kasus Gus Dur dulu yang membubarkan Depsos dan Deppen. Seolah-seolah DPR merasa dilangkahi. Karena memang tidak ada aturan seperti itu,” tutur dosen Unika Atmajaya ini.
Menurut dia, dalam waktu yang sempit sekarang, RUU Kementerian Negara jangan dijadikan prioritas. Alasannya, jelas Daniel, dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden itu mendapat legitimasi rakyat, presiden mandataris rakyat.
Dengan legitimasi rakyat, lanjut Daniel, “Ya, biarkan saja presiden yang menentukan kabinetnya sebab sangat terkait dengan program, visi dan misi si presiden yang disampaikan ketika kampanye.”
Kalau toh mungkin diatur dengan UU, demikian Daniel, sebaiknya kementerian yang terkait dengan penyelenggaraan kenegaraan meliputi Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Departamen Pertahanan (Dephan).
“Kalau mau pertimbangan DPR cukup pada tiga kementerian itu. Jangan semua lagi minta pertimbangan DPR. Siapapun presiden tentu akan memikirkan kebutuhan bangsa ini. Program dia seperti ini, kabinet bayangan dia seperti ini, terserah pilihan rakyat. Capres harus sampaikan kabinet bayangan sekarang ini. Kalau misalkan dia membubarkan departemen tertentu, ya rakyat yang menentukan pilihan. Jangan pertimbangan DPR, itu sangat politis,” papar Daniel Yusmic.
Draf RUU Kementerian Negara usulan DPR memberikan proteksi terhadap beberapa kementerian negara yang harus tetap ada meski terjadi perubahan kepemimpinan pemerintahan. Kementerian yang harus dan wajib ada itu terdiri delapan kementrian negara.
Selain delapan kementerian negara yang harus tetap ada, juga termuat istilah kementerian negara dibagi menjadi dua: kementerian negara portofolio dan kementerian negara non-portofolio.
Kementerian negara portofolio dibagi mennjadi kementerian yang bersifat tetap/wajib dan kementerian bersifat strategis. Termasuk kementerian straegis antara lain Kementerian Negara Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Pertanian dan Kementerian Negara Sosial. Setidaknya terdapat 15 kementerian negara bersifat strategis.
Kemudian, yang dimaksud dengan kementerian negara nonportofolio adalah kementerian negara baru yang belum ada atau kementerian negara koordinator.
Menteri Kehakiman dan HAM yang juga ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, pun mengkritik RUU Kementerian Negara. Sebenarnya konsekuensi dari sistem presidensial, menurutnya, pembentukan kabinet menjadi kewenangan presiden. "Kalau kita presidensial murni, organisasinya terserah dia. Kalau diatur lagi, itu sama saja dengan membiarkan orang jalan, tapi kakinya kita ikat," ujarnya.
Namun, karena UUD 1945 sudah menetapkan begitu maka pemerintah menyiapkan RUU, walaupun tidak diatur secara rinci. Yang akan diatur hanya departemen-departemen yang terkait fungsi-fungsi negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan hubungan luar negeri. "Tapi apa perlu ada Menteri BUMN atau PAN? Itu terserah presiden," ujar Yusril.
Memang masih harus dibicarakan lebih dalam lagi. Pasal 7 Ayat 1, misalnya, menegaskan bahwa kementerian portofolio bersifat tetap, tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Lalu, menyangkut kementerian portofolio bersifat strategis dapat dibubarkan oleh Presiden. Tapi, dalam Pasal 7 Ayat 2 disebutkan, harus dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Jadi begitu rumit. Kita camkan saja pendapat Daniel Yusmic, cukup portofolio untuk Depdagri, Deplu dan Dephan. Lainnya? Terserah presiden.
© Copyright 2024, All Rights Reserved