Komisi Yudisial akhirnya mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan Nurmahmudi Ismail atas sengketa hasil Pilkada Kota Depok. Rekomendasi tersebut berupa pencopotan jabatan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat Nana Juwana. Selain itu kebobrokan Majelis Hakim dalam memutus juga diungkap Komisi Yudisial
Nana Juwana merupakan Hakim Ketua dalam persidangan yang memutus perkara sengketa hasil Pilkada Depok, dikenakan sanksi pemberhentian sementara selama satu tahun. Sementara itu, bagi empat hakim anggota lain --yakni Hadi Lelana, Sopyan Royan, Rata Kembaren, Ginalita Silitonga-- Komisi Yudisial merekomendasikan agar mereka diberi sanksi teguran tertulis.
"Majelis Hakim PT Jabar yang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Pilkada Depok terbukti melakukan kesalahan dan kekeliruan berupa unprofessional conduct secara formil dan materil," jelas Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas membacakan hasil pemeriksaan Majelis Hakim PT Jabar di Gedung Dephumham, Jakarta, Kamis (15/9).
Menurut hasil pemeriksaan Komisi Yudisial yang dibacakan Busyro, kesalahan formil yang dilakukan oleh lima anggota Majelis Hakim itu adalah melanggar Pasal 106 Ayat 4 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa perkara sengketa Pilkada harus diputus paling lambat dalam jangka waktu 14 hari.
Sedangkan perkara tersebut diterima oleh PT Jabar pada 12 Juli 2005 dan baru diputuskan pada 4 Agustus 2005, sehingga meski jumlah hari kerja tidak diperhitungkan proses keputusan perkara itu telah melewati batas waktu yang telah ditentukan.
Pengajuan permohonan perkara yang seharusnya hanya tiga hari juga dilanggar. KPUD Depok menetapkan hasil penghitungan suara pada 6 Juli 2005 sedangkan permohonan perkara didaftarkan lima hari kemudian melakui PN Cibinong pada 11 Juli 2005.
Sedangkan kesalahan materil kelima hakim PT Jabar itu ialah dilampauinya batas wewenang dalam mengadili serta mempertimbangkan hal-hal yang berada di luar obyek sengketa hasil Pilkada.
"Seharusnya yang menjadi wewenang PT hanya yang berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon saja. Namun pemeriksaan juga menyangkut penggembosan atau penggelembungan suara dan adanya pemilih fiktif yang sebenarnya merupakan wewenang Panwas Pilkada," ungkap Busyro.
Asas imparsialitas, atau ketak-berpihakan ternyata juga dilanggar dalam proses pengambilan keputusan karena tidak mempertimbangkan bukti-bukti dari termohon. Termohon dalam kasus ini adalah KPUD Depok, berupa bukti rekapitulasi penghitungan suara. Selain itu Majelis Hakim PT Jabar juga dinilai menggunakan asumsi dalam pertimbangan hukum mereka dengan menerima saja bukti-bukti yang diajukan pemohon, yakni pihak Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad, tanpa melakukan pengabsahan dan disertainya bukti-bukti autentik.
Dalam pemeriksaan Komisi Yudisial juga terungkap tidak kooperatifnya Nana Juwana dengan tidak menjawab beberapa pertanyaan tertentu dari Komidi Yudisial. Menurut Busyro Nana mengaku diperintah Mahkamah Agung untuk tidak menjawab hal-hal yang menyangkut materi putusan.
Walau Komisi Yudisial telah merekomendasikan pencopotan Ketua PT Jabat Nana Juwana, namun semuanya berpulang kepada pimpinan Mahkamah Agung. Karena hal tersebut merupakan kewewenang sepenuhnya dari Majelis Kehormatan Mahkamah Agung untuk menindak-lanjuti rekomendasi tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved