(GSP) oleh negara-negara maju, kemungkinan tidak diberikan lagi kepada Indonesia. Pasalnya, negara maju kini menggolongkan Indonesia sebagai negara \"middle income\"." itemprop="description"/>
(GSP) oleh negara-negara maju, kemungkinan tidak diberikan lagi kepada Indonesia. Pasalnya, negara maju kini menggolongkan Indonesia sebagai negara \"middle income\"."/>
(GSP) oleh negara-negara maju, kemungkinan tidak diberikan lagi kepada Indonesia. Pasalnya, negara maju kini menggolongkan Indonesia sebagai negara \"middle income\"."/>
Fasilitas pembiayaan bagi biaya masuk untuk negara-negara berkembang atau yang disebut "Generalized System Of Preferences" (GSP) oleh negara-negara maju, kemungkinan tidak diberikan lagi kepada Indonesia. Pasalnya, negara maju kini menggolongkan Indonesia sebagai negara "middle income". Hal itu disampaikan oleh Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung kepada pers di Jakarta, Kamis (08/12). "Indonesia kini sudah menjadi negara middle income," ujarnya. Kata Chairul, kajian untuk menghentikan pemberian fasilitas GPS itu, juga didasarkan pada situasi negara Eropa yang kini dilanda krisis. Fasilitas GSP itu, masih menurut Chairul, sebenarnya dirancang untuk menolong negara-negara berkembang dalam meningkatkan ekspor ke Eropa. Menurut dia, jika fasilitas ini tidak lagi diberikan kepada Indonesia, maka dampaknya adalah terjadi koreksi kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB), yang akan berkurang 0,2-0,3 persen. "Tahun 2012 kita akan tumbuh tapi tidak setinggi perjalanan dari tahun 2010 ke 2011. Namun saya tetap optimistis koreksi tingkat ekspor akan ditutup dengan tingginya konsumsi masyarakat Indonesia," ujar dia. Seperti diketahui, belum lama ini Komisi Eropa dikabarkan tengah menggodok proposal yang mengajukan peninjauan kembali atas pemberian fasilitas GSP. Uni Eropa memberikan tarif 0 persen bagi produk yang diekspor oleh negara yang tergolong miskin dengan pendapatan rendah (least-developed countries/LDCs), kecuali untuk produk persenjataan. Komisioner Perdagangan UE Karel de Gucht mengatakan, reformasi GSP ini bukan bentuk proteksionisme. "Kami bukan wilayah yang proteksionis, tapi ini karena banyak negara yang tidak terwakili di WTO padahal sangat membutuhkan fasilitas semacam itu," ujar dia, dalam jumpa pers di markas Komisi Uni Eropa di Brussels. Gucht mengatakan proposal itu sudah diajukan ke Parlemen Uni Eropa setelah mempertimbangkan bahwa hanya sedikit negara LDC yang mendapat fasilitas tersebut. Dalam proposal itu terdapat rencana untuk mengurangi jumlah negara penerima fasilitas GSP, yaitu dari saat ini 176 negara menjadi hanya 80 negara. © Copyright 2024, All Rights ReservedBerita Populer
PENDAPAT
Lukisan yang Jokowi Banget
Taujihat Untuk Negeri
Bela Negara, Bela Rakyat
NUSANTARA
POLITISIANA
WAWANCARA
Coblos Semua Paslon Boleh Dilakukan
Masuk Negara Middle Income, Fasilitas GSP Indonesia Bakal Distop
Perdalam Kerjasama Ekonomi, SBY Utus Hatta ke Timor Leste
Waspada Sindoro: Erupsi Terakhir 101 Tahun Lalu