Saat ini, tak ada negara yang memilliki kedaulatan mutlak. Di era globalisasi ini setiap negara mau tak mau harus bekerjasama untuk berkompetisi dengan negara besar. Pernyataan tersebut dilontarkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terkait dengan Perjanjian Kerjasama Pertahanan ({Defence Cooperation Agreement}/DCA)Indonesia-Singapura. Meski tidak langsung, pernyataan Menhan ini sepertinya ditujukan kepada para pengeritik perjanjian tersebut.
"Saya menjelaskan kepada DPR dalam era globalisasi, tidak ada kedaulatan mutlak. Kita harus bekerjasama dengan Singapura. Kita harus menghadapi kompetisi negara-negara besar," kata Juwono di Batam, Senin (4/6).
Menhan menjelaskan, meski sempat mendapat hambatan dari DPR, namun ratifikasi yang dibahas legislatif terus mengalami perkembangan bagi pelaksanaan perjanjian yang telah ditandatangani oleh dua menhan Singapura dan Indonesia tersebut. "Saat ini pembahasan pada tahap diskusi mengenai detil teknik peraturan perjanjian dan tentang frekuensi latihan angkatan laut Singapura di wilayah perairan Indonesia," ujar Juwono. Juwono juga mengharapkan pembahasan rinci perjanjian kerjasama militer Indonesia-Singapura selesai dalam pekan ini.
Seperti diketahui, pada 27 April 2007, pemerintah RI dan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi, kerja sama pertahanan dan kerangka pengaturan tentang daerah latihan militer. Proses penandatanganan ketiga dokumen itu dilakukan di Istana Tampak Siring, Bali, oleh menlu, menhan dan panglima angkatan bersenjata kedua negara yang disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura, Lee Hsien Loong.
Perjanjian pertahanan tersebut mengatur tentang kerja sama pelatihan antara kedua angkatan bersenjata atas prinsip saling menguntungkan. Sedangkan untuk kerjasama daerah latihan militer bersama, Indonesia memberikan fasilitas wilayah latihan udara dan laut tertentu kepada Singapura, dalam lingkup yuridiksi hukum Indonesia.
Namun, TNI juga memiliki akses terhadap peralatan dan teknologi militer Singapura. Perjanjian itu akan diberlakukan bersama-sama setelah diratifikasi menurut ketentuan hukum nasional masing-masing. DCA Indonesia-Singapura akan berlaku selama 25 tahun dan akan ditinjau ulang setelah 13 tahun dan dikaji berikutnya enam tahun kemudian.
[PAN Menolak]
Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) mengeluarkan sikap menolak perjanjian pertahanan Indonesia - Singapura. Perjanjian tersebut dinilai merugikan Indonesia dan dibuat tanpa melihatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan penolakan ini, PAN merupakan partai pertama yang secara terbuka menyatakan penolakan terhadap DCA.
"Perjanjian pertahanan tersebut berat sebelah atau hanya menguntungkan Singapura. Selain itu juga dibuat tanpa melibatkan DPR serta mengabaikan amanat UUD 1945," kata Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir, setelah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II, di Palembang, Minggu (3/6).
Terkait dengan perjanjian pertahanan tersebut, Komisi I DPR juga telah meminta pemerintah untuk memperbaiki kesepakatan kerja sama pertahanan tersebut terutama dalam penyusunan aturan pelaksanaan ({implementing arrengement}).
© Copyright 2024, All Rights Reserved