Polda Metro Jaya memanggil dua orang pejabat PT Jamsostek, Direktur Utama (Dirut), Ahmad Junaedi dan Direktur Investasi, Andi Rahman Alamsyah sebagai tersangka tindak pidana korupsi senilai Rp 26,7 miliar. Mereka diminta datang ke Polda Metro Jaya, Senin (14/4) pekan depan.
Hal itu dikatakan Kepala Satuan Tindak Pidana Korupsi (Kasat Tipikor), AKBP Anton Wahono di Jakarta, Selasa (8/4). Kedua pejabat PT Jamsostek itu dituduh melanggar Pasal 2 dan 3 Undang Undang No 31 tahun 1999 tentang tindak Pidana Korupsi dengan ancaman kurungan maksimal 20 tahun.
"Mereka diduga menyalahgunakan jabatannya dan mengakibatkan kerugian negara," jelas Anton seperti dikutip Suara Pembaruan.
Kedua pejabat itu diduga terlibat dalam perkara pembelian tanah seluas 17.360 m2 yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 26,7 miliar.
Peristiwa itu bermula ketika sebuah perusahaan swasta, PT BBS sebagai pemilik tanah seluas 36.452 m2, menjual surat kuasa jual kepada kelompok Lippo pada tahun 1980. PT BBS menjual surat kuasanya menjelang Hak Guna Bagunan (HGB) nomor 6.33.34.132 yang dimilikinya akan berakhir pada tahun 1980. Perpanjangan HGB itu juga sudah ditolak Pemda DKI.
Penjulanan itu atas persetujuan Direktur PT BBS yang saat itu dijabat Bambang. Namun, tanpa diketahui, pada tanggal 16 Oktober di tahun yang sama, Komisaris PT BBS, juga menjual surat kuasa itu kepada Sidarta Sindu Broto (almarhum) seharga Rp 1,7 miliar.
Pihak PT Lippo, menurut Anton, memiliki surat itu secara sah. PT Lippo kemudian menjual tanah itu ke beberapa pihak. Sebagian tanah itu, seluas 17.360 m2 dijual kepada PT Jamsostek. Sisa luas tanah itu kemudian dijual kepada Grup Mulia dan pemerintah. Belum diketahui luas tanah masing-masing kedua pihak terakhir itu. Pemerintah menggunakannya untuk pembuatan jalan tol.
Sementara itu, mendiang Sidarta Sindu Boroto dimasa hidupnya juga menjual surat hak jualnya kepada sebuah perusahaan, PT BDC senilai Rp 6 miliar. Transaksi itu terjadi antara Sidarta dengan Direktur PT BDC, Abdul Rahman.
Pihak PT Jamsostek kemudian memperkuat hak kepemilikan tanahnya yang terletak di Jl Jendaral Gatot Subroto No 79 itu dengan mengurus sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Sertifikat itu kemudian diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan nomor R9 pada tahun 1992.
Pada tahun 2001, hal itu diketahui PT BDC dan memperkarakannya ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Pihak PT BDC menggugat secara perdata PT Jamsostek senilai Rp 18,5 miliar. Kedua pihak yang berseteru itu kemudian bersepakat menempuh jalan damai. Gugatan diselesaikan secara musyawarah sebelum PN Jaksel menjatuhkan vonisnya.
Pihak PT Jamsostek melalui Dirutnya, Ahmad Junaedi dan Direktur Investasi, Andi Rahman Alamsyah menyetujui pemberian ganti rugi kepada PT BDC senilai Rp 18,5 miliar.
Menurut Anto, penyelesaian musyawarah sebelum jatuhnya vonis pengadilan itu patut diduga melanggar hukum.
Pasalnya, pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui suratnya yang dikirim kepada pihak PT Jamsostek telah memberitahukan tentang pihak PT BDC yang hanya memiliki Surat Ukur. Pihak BPK juga sudah meminta agar tuntutan itu tidak dibayar.
"Surat Ukur tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dimiliki setiap orang atas tanah mana pun dengan memintanya ke instansi terkait. Misalnya, kita mau beli tanah dan perlu mensurvainya terlebih dahulu, kita bisa meminta bantuan Badan Pertanahan Negara," kata Anton.
Gugatan atas tanah yang sama terhadap PT Jamsostek juga datang dari Ny Adrian Siegens (almarhum). Mendiang Ny Andrian juga menggugat PT Jamsostek di PN Jaksel. Kedua pejabat yang menjadi tersangka itu juga mengeluarkan dana perusahaan senilai Rp 8,2 miliar untuk tuntutan itu.
Menurut Anto, penyelesaian damai pada kasus kedua itu juga patut dicurigai terjadinya tindak pidana korupsi. Pasalnya, pihak PN Jaksel, akhirnya, mengeluarkan putusan gugatan Ny Adrian ditolak. Penyidik menurut Anton, akan meminta keterangan para tersangka menyangkut kronologis jual beli hak atas tanah yang saat ini sudah sah milik PT Jamsostek.
© Copyright 2024, All Rights Reserved