Sorak-sorai kegembiraan siswa yang menjadi pengunjung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terdengar riuh-rendah ketika Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan {citizen lawsuit} UN 2006. Pengunjung sidang bersorak dan bertepuk tangan.
Majelis hakim PN Jakpus yang diketuai Andriani Nurdin SH dalam putusannya menyatakan pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negaranya.
Majelis hakim menyatakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standarisasi Pendidikan Nasional telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UAN.
Para tergugat itu juga dinyatakan telah merugikan hak subyektif para siswa yang tidak lulus UAN dan telah menyebabkan mereka mengalami kerugian materiil serta imateriil berupa hilangnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Majelis memerintahkan para tergugat untuk meninjau ulang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), serta memperbaiki mutu guru, sarana pendidikan dan penyebaran informasi yang tidak sama di seluruh daerah sebelum pelaksanaan UAN selanjutnya.
Pemerintah, juga diperintahkan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat dalam menyusun kebijakan sistem pendidikan nasional.
Majelis dalam pertimbangannya menyetujui bahwa UAN diperlukan untuk perbaikan mutu pendidikan namun bukan satu-satunya standar penentu kelulusan.
Namun, para tergugat dinilai telah mengabaikan fakta yang diakibatkan oleh pelaksanaan UAN seperti terjadinya kecurangan untuk memenuhi standar kelulusan yang ditetapkan secara nasional.
"UAN sebagai penentu kelulusan menyebabkan adanya kecurangan dan kebocoran yang dilakukan untuk memenuhi standar kelulusan. Hal ini memperlihatkan adanya pergolakan dalam masyarakat. Haruskah hakim menutup mata dan telinga terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat?" tutur Andriani.
Padahal, lanjut dia, hakim harus juga berperan sebagai sosiolog yang mencermati rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.
Selain itu, para tergugat dalam menerapkan standar kelulusan ujian secara nasional dinilai telah menutup mata terhadap adanya kesenjangan mutu dan kualitas guru serta sarana pendidikan dan penyebaran informasi di seluruh daerah di Indonesia. "Kesenjangan ini bahkan diakui oleh tergugat satu," ujar Andriani.
Meski menyatakan pemerintah sebagai para tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kebijakan penyelenggaraan UAN, majelis hakim hanya memenuhi gugatan subsider dari para tergugat, yaitu meminta putusan seadil-adilnya apabila majelis berpendapat lain.
Gugatan dari para penggugat seperti permohonan maaf dan meminta UAN ulangan bagi para siswa yang tidak lulus UAN, oleh majelis hakim, tidak dikabulkan.
"Horeeee!!!" teriak pengunjung sidang yang kebanyakan dari pada siswa SMU sambil berdiri dan bertepuk tangan ketika majelis hakim mengetuk palu atas putusan tersebut. Mereka bahkan secara spontan menyanyikan potongan lagu Indonesia Raya sebelum hakim menutup sidang. Setelah itu, mereka keluar ruang sidang. Para siswa yang tidak lulus tampak langsung saling berpelukan dan menangis haru.
Atas putusan tersebut, kuasa hukum penggugat dari LBH Jakarta, Asfinawati, mengatakan, pihaknya akan mendorong pertemuan antara pemerintah dan para penggugat guna membicarakan perbaikan sistem pendidikan nasional.
Meski kebijakan UAN tidak dibatalkan, Ia menilai putusan majelis hakim cukup menampung keinginan para penggugat untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional.
Namun, Asfin mempersoalkan tidak adanya ukuran jelas dalam perintah majelis hakim kepada Pemerintah untuk memperbaiki kualitas guru dan menghilangkan kesenjangan antar daerah sebelum pelaksanaan UAN berikutnya. "Di sini ukurannya tidak jelas. Apa parameter pemerintah telah melakukan perintah majelis hakim ini sebelum UAN dilaksanakan kembali," ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved