Menyikapi kritikan berbagai kalangan di dalam negeri terhadap masalah Papua, Pemerintah menyatakan bahwa selama ini pihaknya tidak pernah menyepelekan masalah Papua. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono, menepis tuduhan bahwa pemerintah tak serius menangani Papua.
"Persoalan dan konflik vertikal di Papua, Aceh dan Poso adalah persoalan yang kini menjadi fokus pemerintah dalam menegakkan NKRI," ujar Juwono tegas.
Ia mengakui, untuk menyelesaikan konflik di tiga wilayah itu memang perlu ada rasa keadilan di benak masyarakat di masing-masing daerah itu, hingga konflik horizontal dan vertical dapat diredam.
Seperti diketahui, pada 9 Juni lalu Komite Relasi Internasional dari DPR - AS, menggolkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang berisikan dukungan pada kebebasan Papua.
RUU itu disebut H.R. 2601, the State Department Authorization Act for FY2006 yang diprakarsai oleh dua anggota Kongres AS, yaitu Donald M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomavaega (asal Samoa Amerika).
Donald dan Eni selama ini bekerja keras mendesak berbagai pihak agar memberi perhatian kepada warga Papua. Menurut RUU itu, Papua yang didominasi etnis Melanesia adalah eks koloni Belanda.
Meski RI menegaskan Papua merupakan bagian teritori sejak merdeka pada 1945, Papua tetap berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda hingga tahun 1962. Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani kesepakatan di Kantor PBB New York (New York Agreement).
Kesepakatan itu menjadi dasar penyerahan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), dan lalu pada tahun 1963 diserahkan kepada RI sambil menunggu hasil penentuan pendapat rakyat (plebisit).
Lalu penentuan pendapat rakyat atau Pepera diadakan untuk memberikan kesempatan kepada para warga Papua memilih apakah akan tetap berada di dalam wilayah RI atau tidak. Dan pada tahun 1969, Pepera dilaksanakan dengan melibatkan 1.025 orang yang menyatakan tetap bergabung dengan RI.
© Copyright 2024, All Rights Reserved