Kukuh juga pandangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setidaknya, dalam soal reklamasi di Pantai Utara Jakarta, apa pun yang terjadi harus tetap jalan. Tujuan reklamasi pantai itu diyakini untuk mengatasi ledakan jumlah penduduk di ibu kota. Walhi mengusulkan Keppres tentang reklamasi itu dicabut.
"Reklamasi pantai utara Jakarta ini dilakukan karena ledakan jumlah penduduk di DKI yang terus bertambah," ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungn Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, Peni Susanti kepada wartawan di Balai Kota DKI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (16/06).
Menurut Peni Susanti, di kota-kota besar yang berpenduduk banyak, reklamasi merupakan hal lazim dilakukan. Tujuannya, kata dia, mengatasi ledakan jumlah penduduk. Warga DKI kini mencapai 9 juta jiwa.
Peni menyebutkan, di China, Singapura dan Belanda, reklamasi juga menjadi pilihan, karena penduduknya sudah padat. Apalagi, karena tidak mungkin mengalihkan lahan produktif untuk kawasan pemukiman.
Dengan semangat itu, Peni menepis anggapan reklamasi itu, akan merusak lingkungan di sekitar Pantai Utara Jakarta. Ia mengemukakan, ada kajian tentang itu, yang intinya menyebutkan tidak akan merusak atau mengganggu apapun. Menurut dia, sudah ada kajian lingkungan hidup strategis.
Cabut Keppres Reklamasi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, mendesak pemerintah segera mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Slamet Daroyni, kepada pers di Jakarta mengatakan kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta menimbulkan kerusakan signifikan terhadap ekosistem hutan bakau.
Seperti diketahui, reklamasi pantai di Jakarta Utara sudah dilakukan sejak 1980-an. Di lapangan, tanah hasil reklamasi telah menjadi rumah susun, kawasan hunian dan industri, serta pabrik.
Slamet memastikan, konversi hutan bakau menjadi kawasan industri dan hunian di sepanjang pantai utara Jakarta telah menyusutkan luas hutan bakau. Padahal, secara ekologis hutan bakau berfungsi melindungi Ibukota dari abrasi dan rumah bagi ikan.
Di luar itu, reklamasi pantai utara Jakarta itu, dinilai menyalahi tata guna lahan. Seharusnya, kata Slamet, pesisir utara sama sekali tidak boleh dikonversi. Menurut dia, reklamasi bukan solusi buat masalah-masalah ekologi seperti banjir.
Yang harus dilakukan, justeru melakukan restorasi, mengembalikan peruntukan lahan sesuai tata ruang. Intinya, lahan yang awalnya berupa hutan bakau dan rawa-rawa dikembalikan ke fungsinya, agar ekologi Jakarta berada di posisi yang aman.
Alasan Ekonomi
Walhi berpandangan, Pemprov DKI ngotot dengan proyek reklamasi karena alasan ekonomi. Demi alasan ekonomi itulah, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat melihat kawasan pesisir utara Jakarta ditimbun dan dikeringkan hingga kedalaman delapan meter.
Walhi menyebutkan pantai utara Jakarta sepanjang 32 km telah dikavling oleh sedikitnya 10 perusahaan.
PT Kapuk Naga Indah menguasai lahan seluas 674 hektare, PT Taman Harapan Indah dengan Pantai Mutiaranya menguasai 100 hektare. Lalu, Bangun Bakti Esa Mulia menguasai lahan seluas 88 hektar, PT Muara Wisesa Samudra dengan Pantai Hijaunya dan PT Pembangunan Jaya Ancol, BPL Pluit menguasai 290 hektare.
PT Jaladri Kartika Ekapasi 200 hektare, PT Manggala Krida Yudha 375 hektare, dan PT Dwi Marunda Makmur 220 hektare serta Berikat Nusantara menguasai 189 hektare.
Bagian yang dikuasai masyarakat umum, menurut Walhi, hanya di kawasan Pantai Marunda yang luasnya kurang dari lima hektare.
Parahnya, sepanjang pesisir utara Jakarta tidak lagi menyisakan bakau, seperti 40 tahun silam. Kondisi hutan bakau kini cuma tersisa di daerah Angke. Walhi memperkirakan luas hutan bakau kini tinggal 120 hektare. Pada 1960 ada sekitar 1.344 hektare.
© Copyright 2024, All Rights Reserved