Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) telah mencabut moratorium izin program studi (Prodi) Kedokteran yang diberlakukan 14 Juni 2017 lalu. Sejumlah pihak mengkritik kebijakan itu dan berharap moratorium prodi kedokteran tetap diberlakukan.
Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti, mengatakan dicabutnya moratorium pembukaan Prodi kedokteran untuk menyikapi masih kurangnya rasio dokter di Indonesia. Pencabutan tersebut untuk mengantisipasi kekurangan jumlah dokter yang setiap tahunnya mencapai 1.920 dokter.
Pembukaan prodi kedokteran diperbolehkan jika terdapat wilayah yang memerlukan pemenuhan kebutuhan tenaga dokter, hanya untuk daerah tertentu yang belum memiliki fakultas kedokteran.
Saat ini, rasio dokter di Indonesia jumlahnya 1 berbanding 2.500 penduduk. Keadaan tersebut, hanya berbeda setingkat di atas Myanmar dan jauh tertinggal dari Malaysia yang jumlah dokternya 1 berbanding 800 penduduk.
“Jadi, intinya kita ini masih kekurangan dokter. Makanya, kami akan memprioritaskan izin bagi kampus yang berada di luar Pulau Jawa,” katanya kepada politikindonesia.com usai Seminar “Menata Cetak Biru Sumber Daya Manusia Iptek dan Dikti Menuju Indonesia Emas”, di Jakarta.
Sementara untuk yang di Pulau Jawa, jumlahnya dokter yang ada sudah lebih dari cukup. “Jika tidak menambah kampus yang membuka Prodi kedokteran baru, Indonesia akan kekurangan 25.740 dokter hingga 2030 nanti,” katanya.
Ia menambahkan, prodi kedokteran diprioritaskan kepada daerah yang sampai sekarang belum ada prodi kedokteran, seperti Banten dan Gorontalo. Walaupun Banten berada tak jauh dari Jakarta, namun kondisi kesehatan di daerah itu sangat genting.
Selain itu, untuk memenuhi izin penyelenggaraan program studi juga harus memiliki dosen minimal 26 orang dan memiliki rumah sakit pendidikan atau bekerja sama.
“Perguruan tinggi yang menyelenggarakan prodi kedokteran, harus menerima 20 persen mahasiswa dari daerah zona merah atau daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Setelah lulus, harus kembali ke daerahnya karena salah satu tujuannya untuk mengisi daerah yang kekurangan dokter. Sehingga pencabutan moratorium tersebut juga akan diimbangi dengan pemerataan distribusi dokter,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Umum Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Bambang Suyatno menilai moratorium prodi kedokteran perlu dilanjutkan.
Meski prodi kesehatan menjadi prioritas pembangunan Ristekdikti dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) pada 2018 mendatang, namun penambahan prodi kedokteran bukanlah jalan keluar yang sesuai dengan grand desain. Sebab, produksi prodi kesehatan sudah cukup banyak, namun kualitasnya yang kurang. Solusi meningkatkan kualitas dan kuantitas dokter adalah dengan memperbaiki yang sudah ada.
“Masalahnya, ada orang yang tidak lulus sampai 10 kali. Dia berpikir, kalau sampai yang ke-11 dia tidak lulus, maka dia di-DO. Selain itu, masih banyak prodi kesehatan yang nilai akreditasinya C,” ujar dia.
Bambang menambahkan, pihaknya bukan tidak mau membuat Fakultas Kedokteran yang baru, tapi untuk meningkatkan kualias, moratorium izin prodi Kedokteran memang harus diberlakukan.
Selain itu, fakultas yang tidak bisa beranjak dari akreditasi C setelah sekian waktu, harus ditutup. Pihak perguruan tinggi harus memikirkan nasib mahasiswanya.
Bambang menyebut, saat ini ada sekitar 2.500 sarjana kedokteran yang kesulitan menjadi dokter lantaran berkali-kali tidak lulus Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Para calon dokter ini sebagian besar berasal dari fakultas kedokteran yang masih terakreditasi C.
“Setiap tahunnya ada sekitar 25 persen sarjana kedokteran yang tidak lulus UKDI. Kegagalan menembus UKDI itu bisa terjadi berkali-kali dan hingga saat ini jumlah sarjana kedokteran itu menumpuk. Sebagian besar mereka berasal dari kampus dengan FK akreditas C,” ujar dia.
Faktanya, ujar Bambang, masih ada sekitar 45 persen dari 83 program studi kedokteran yang status akreditasinya masih C.
Melihat kondisi tersebut, ia menyarankan, gar Kemristekdikti sebaiknya lebih fokus pada pembinaan. Karena standar kompetensi dokter sangat ketat dan mutu yang utama. Pembinaan bisa dilakukan oleh kementerian dengan melibatkan mentor-mentor dokter dari FK yang bagus, atau pembinaan institusional dengan mengambil mentor dari dosen di kampus yang bersangkutan.
“Saat ini total dokter yang kami catat sebanyak 142.000 dokter dan sebagian besar tersebar di Pulau Jawa. Masalah utama kurangnya tenaga kesehatan kita adalah distribusi yang hanya di 10 provinsi. Dulu, dokter dipaksa ke daerah, kalau tidak, ya tidak bisa praktik. Kebijakan seperti itu saya yakin mampu membantu distribusi produksi prodi kesehatan. Dengan begitu, dokter-dokter muda tidak hanya berkutat pada kota-kota besar,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved