Penetapan seseorang sebagai tersangka oleh lembaga penegak hukum tak bisa dipraperadilkan. Hakim yang menangani gugatan tersebut berpotensi melanggar hukum dan etika jika tetap mengeluarkan keputusan.
Demikian pendapat yang disampaikan mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko kepada pers, Senin (02/02).
Djoko mengatakan, gugatan praperadilan penetapan tersangka pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2012 lalu. Saat itu, sidang berakhir dengan pemberian sanksi terhadap hakim yang memutus perkara tersebut.
Ketika itu, gugatan praperadilan diajukan oleh tersangka Bachtiar Abdul Fatah, General Manager PT Chevron. Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel dikeluarkan oleh hakim tunggal Suko Harsono, ketika itu.
Keputusan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sementara hakim yang memutus perkara tersebut mendapat sanksi dari Badan Pengawas MA. “Hakim (Suko) dinyatakan telah melanggar kode etik karena melampaui kewenangan praperadilan," kata Djoko
Suko dinilai melakukan pelanggaran berat sehingga dimutasi ke Ambon sebagai hakim biasa.
Berkaca dengan kasus tersebut, gugatan praperadilan yang diajukan Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka korupsi oleh KPK juga dinilai lemah secara hukum. "Dalam KUHAP tidak ada mekanisme praperadilan terhadap status tersangka."
Djoko menyebut, jika rujukannya tetap menggunakan pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dapat diartikan adanya pelanggaran yang terjadi. “Ya kalau rujukannya tetap pasal 77 KUHAP tapi perkara tetap diputus, kan tidak sesuai. Itu berarti apa? pelanggaran bukan?" ujar Djoko.
Dia memaparkan, pasal 77 juncto pasal 95 KUHAP, yang menjadi landasan gugatan praperadilan tersebut, lemah secara hukum. Hal ini dikarenakan, dalam pasal-pasal tersebut tidak ada tafsir yang menyebutkan bahwa penetapan status tersangka termasuk dalam tindakan yang dapat dipraperadilankan.
Sesuai aturan hukum yang berlaku, tambah dia, Pengadilan Negeri berwenang memutus perkara praperadilan terkait sah tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan permintaan ganti rugi atau rehabilitasi untuk perkara yang tidak diajukan ke pengadilan.
Selain itu praperadilan juga dapat memutus ganti rugi atas tindakan lain yang tidak termasuk dalam perkara di atas. Dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan, kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
Djoko mengimbau agar hakim dapat berhati-hati dalam memutus sengketa praperadilan antara BG dengan KPK ini. "Hakim jangan sampai tersesat, saya tidak menakut-nakuti tapi itulah fakta," ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved