Bangkitnya budaya tradisi di beberapa daerah di Indonesia pertanda adanya kerinduan kembali ke akar. Pada hakikatnya manusia butuh akar untuk melangsungkan rutinitas kehidupannya. Ketika kita ada di akar maka kapitalisme tidak terlalu berdaya.
Demikian diungkapkan Prie GS, Seniman,Budayawan, dan Kartunis yang tinggal di Semarang ketika ditemui politikindonesia.com, usai mengikuti acara talk show pada pembukaan Jateng Art Festival, di Wisma Perdamaian, Tugu Muda, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (06/11).
Prie yang memiliki nama lengkap Supriyanto itu menambahkan ketika melihat sinetron, kontes-kontes Idol secara cabang ranting menyenangkan, gemerlap. Tetapi lama-lama banyak kalangan masyarakat yang tetap merasa kesepian di tengah gemerlapnya hiburan itu karena tidak berakar pada budaya tradisi Indonesia. “Karena itu, tren bangkitnya kembali budaya tradisi merupakan kerinduan mempertanyakan akar,” katanya.
Ia menambahkan sehebatnya-hebatnya Phill Colins tetapi dirinya masih terikat pada gending-gending Nartosabdo. Saat gending-gending itu dibunyikan menurutnya, ibunya sedang sakit. Kampungnya dan para tetangganya tengah ditimpa bencana. “Suasana seperti itu yang membentuk akar saya,” katanya.
Akar itu sendiri telah menjarah ke semua lini. Pria kelahiran Semarang pada 2 Februari 1965 itu menyontohkan masyarakat Indonesia tidak dapat melupakan beras, trasi. Meski di sekelilingnya sudah dijejali KFC, Mc Donald. “Kita tidak dapat melakukan manipulasi kultural terus. Itu adalah sugesti kapitalisme terhadap manipulasi kultural,” katanya.
Pria yang telah beberapa kali memenangkan lomba kartunis itu menambahkan, secara kultural kita tidak ikut. Makanya orang-orang yang sudah terbiasa makan terasi selalu ingin balik lagi.
Orang-orang Jawa yang sudah hidup di Amerika, Eropa puluhan tahun suatu saat akan merindukan sambel terasi. Mata rantai itu menurutnya, tidak bisa dilepas begitu saja. Karena itu ia memprediksi bangkitnya budaya tradisi pertanda sedang kembali ke akar. “Jika itu benar, maka akan sangat mengasyikkan,” tambahnya.
Di aras kepemimpinan, pria yang mengaku tengah mempersiapkan film komedi parody satir politik itu menyontohkan figur kepemimpinan Lee Kwan You di Singapura yang sederhana tetapi visioner. Menurutnya muncul Lee itu kultural bukan politik. Lee sendiri sudah mengingatkan para pengusaha agar tidak memilihnya jika tak bisa menerima gagasan pemikiran yang akan menaikkan pajak 200 persen.
“Lee mengingatkan lima tahun pertama para pengusaha akan susah. Tetapi dalam kurun waktu 15 tahun dijamin anak cucunya akan sejahtera. Faktanya dengan cara itu dia berhasil memajukan Singapura, sebuah negara di Asia Tenggara yang kini rakyatnya telah sejahtera,” ujarnya.
Karena itu ia mempertanyakan apakah munculnya tokoh-tokoh muda reformis yang memimpin Indonesia seperti Jokowi, Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Risma(Walikota Surabaya) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) sedang memperagakan leadership atau fashionship? “Kalau ternyata yang dipertunjukan itu fashionship, maka ini pertanda negeri ini diambang bahaya,” katanya.
Prie mengapreasi Jateng Art Festival yang dimotori para seniman, budayawan Semarang serta Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang (Unnes) jurusan Seni yang sebelumnya telah melakukan penelitian terhadap budaya tradisi. Mereka juga menampilkan beberapa budaya tradisi baik melalui pameran maupun seni pertunjukan.
Menurutnya hal itu merupakan gerakan-gerakan alam yang kembali ke akar. Karena itu tokohnya akan muncul dengan sendirinya sebagai hadiah alam. Karena itu, menjadi tugas bersama untuk mengawal lahirnya pemimpin baru yang muda, energik, tetapi visioner.
© Copyright 2024, All Rights Reserved