Rachmawati Soekarnoputri mengaku kecewa dituding berupaya melakukan makar. Putri presiden pertama RI, Soekarno itu tak ingin merebut kekuasaan. Niatnya, hanya ingin menyampaikan aspirasi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, agar kembali ke UUD 1945 yang asli.
"Sebenarnya yang saya lakukan pada 2 Desember 2016 lalu, sama sekali tidak terkait dengan upaya perebutan kekuasaan atau penggulingan pemerintahan yang sah. Saya hanya ingin menyampaikan aspirasi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli ke MPRI RI," ujarnya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Kamis (05/01).
Rachmawati ditangkap polisi di rumahnya di kawasan Jati Padang, Jakarta Selatan, jelang demo besar-besaran yang digelar 2 Desember. Demo tersebut menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap penistaan agama yang dituduhkan terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama.
Pendiri Universitas Bung Karno ini kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus makar. Polisi menuduhnya berupaya menunggangi aksi damai tersebut.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahirah Jakarta, 27 September 1957 ini bercerita seputar kasus makar yang disangkakan terhadapnya. Ia juga menyinggung soal amandemen UUD 1945 dan keinginannya agar negara kembali ke UUD 1945 yang asli, sebelum amandemen. Berikut wawancaranya.
Bagaimana kronologis penangkapan anda?
Pagi-pagi sekitar pukul 06.00 WIB saat saya mau salat subuh, rumah saya di kawasan Jati Padang didatangi sekitar 15 orang polisi yang membawa surat penangkapan. Saya pun tak tahu penangkapan itu di bawah pimpinan siapa. Kerena saya mau salat, jadi yang menemui polisi tersebut adalah suami saya.
Dalam surat penangkapan tersebut, saya dikenakan pasal makar. Karena pada aksi damai 212, saya dengan sejumlah tokoh lain akan menemui Ketua MPR untuk memberikan maklumat agar segera dilakukan Sidang Istimewa untuk mengembalikan UUD ke UUD 1945 yang asli. Rencananya akan datang setelah salat Jumat. Saya pun pada saat itu memastikan tidak akan mengikuti aksi doa dan salat Jumat di kawasan Monumen Nasional (Monas). Meski begitu, saya tetap mendukung aksi mengawal kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama itu.
Selanjutnya, Anda dibawa kemana?
Saat itu, katanya saya akan dibawa ke Polda Metrojaya. Jadi saya ikuti saja langkahnya. Namun, ternyata saya malah dibawa ke arah Markas Brimob, Kelapa Dua Depok.
Lantas, seperti apa proses pemeriksaan terhadap anda?
Waktu tiba di Markas Brimob, saya disuruh menunggu hingga jam 10 WIB untuk melakukan pemeriksaan. Jadi di Markas Brimob, saya tidak di apa-apain.
Karena sepertinya tekanan darah saya tinggi. Kemudian ada dokter yang memeriksa saya dan dokter meminta saya untuk dirawat karena emergency. Karena kondisi saya yang tidak memungkinkan akhirnya pemeriksaan dihentikan untuk sementara.
Pemeriksaan pun baru dilajutkan kembali pada Selasa (03/01). Pemeriksaan kali ini dilakukan di rumah di wilayah Jati Padang yang juga merupakan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan sebelumnya sudah dilakukan pada tanggal 20 Desember 2016.
Anda dituduh melakukan upaya makar, ada bantahan terkait ini?
Saya tidak tahu alasan polisi menuduh saya melakukan makar. Saya membantah dengan tegas. Saya tidak melakukan makar sama sekali dan tidak ada upaya untuk melakukan makar terhadap pemerintahan yang sekarang.
Makar adalah tindakan kekerasan oleh kelompok bersenjata untuk menggulingkan pemerintah dalam hal ini Presiden dan yang menjadi sasaran adalah Istana Negara yang dalam pasal 4 konstitusi kita disebutkan sebagai pusat pemerintahan.
Bagaimana mungkin saya melakukan makar. Saya ini putri Proklamator, pendiri bangsa ini dan tentunya saya sebagai anak ideologis. Jadi saya tahu rambu-rambu hukum di Indonesia dan saya tahu segala persoalan yang berkaitan dengan, apa itu artinya makar.
Pada saat itu, saya hanya ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Karena ada azas kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum tapi malah dituduh makar.
Tetapi anda telah ditetapkan sebagai tersangka, terkait makar?
Saya menolak tegas tuduhan polisi bahwa saya melakukan makar. Karena itu adalah ruang publik. Bagaimana mungkin keinginan menyampaikan aspirasi dan pendapat ke gedung wakil rakyat disamakan dengan makar dan upaya perebutan kekuasaan? Ini definisi yang berlebihan dan sama sekali tidak sehat untuk demokrasi kita.
Sebenarnya, apa yang akan anda lakukan pada 2 Desember itu?
Sebenarnya apa yang akan saya lakukan pada tanggal 2 Desember 2016 lalu itu sama sekali tidak terkait dengan upaya perebutan kekuasaan atau penggulingan pemerintahan yang sah. Tak ada hubungannya dengan makar.
Bahkan, sehari sebelumnya, pada tanggal 1 Desember, saya melakukan pumpa pers terbuka lengkap dengan izin dari kepolisian. Jadi kegiatan itu jelas izinnya. Saya pun telah berkomunikasi beberapa kali dengan pimpinan MPR mengenai aspirasi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.
Pertemuan pertama saya dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan terjadi pada 15 Desember 2015 di Gedung MPR. Pimpinan MPR menyambut baik aspirasi itu dan mengundang sebanyak mungkin anggota masyarakat yang memiliki aspirasi serupa.
Ada anggapan Anda berupaya menunggangi aksi 212, tanggapan Anda?
Semua sudah saya bicarakan dengan Habib Rizieq. Sebenarnya tidak ada aksi tunggang menunggangi. Saya sama sekali tidak berencana menunggangi aksi 212, apalagi untuk membelokkan massa yang hadir pada aksi 212 tersebut ke MPR.
Saya memang berencana menggelar aksi di depan MPR, setelah salat Jumat (02/12). Dalam aksi itu, saya bersama teman-teman hanya bermaksud menyampaikan aspirasi kembali ke naskah asli UUD 1945. Rencana aksi itupun sebenarnya telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada hari Rabu (30/11).
Apa alasan anda harus kembali ke UUD 1945 yang asli dan menolak hasil amandemen?
UUD 1945 hasil amandemen saat ini telah melahirkan sistem politik dan ekonomi yang liberal. Sistem tersebut telah memperparah ketimpangan yang kemudian melahirkan separatisme dan fundamentalisme. Hal ini justru akan mempersulit Presiden Jokowi menjadikan bangsa mandiri layaknya Trisakti, seperti yang telah digagas Soekarno.
Komitmen Jokowi untuk menciptakan Indonesia yang berdaulat dan bebas dari ketergantungan asing tidak akan pernah terwujud. Hal tersebut sulit dilakukan, jika kita masih terjebak dengan payung konstitusi bangsa saat ini yaitu UUD 1945 hasil amandemen.
Itulah alasan saya ingin kembali ke dasar negara yang asli. Termasuk karena ada perubahan di Pasal 33 yang mengatur perihal kegiatan perekonomian Indonesia yang menghilangkan aspek keadilan sosial.
© Copyright 2024, All Rights Reserved