Tak ada kerugian negara dalam kasus tukar guling atau hibah tanah negara milik Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 Ha kepada Ditjen Bina Marga atau tukar guling kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) untuk jalan Tol Waru-Tanjung Perak. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum pernah melakukan pemeriksaan atas kerugian negara yang kemudian dinyatakan dalam laporan Hasil pemeriksaan kerugian negara atas permintaan penyidik.
Setidaknya, demikian disampaikan Heri B Samiaji SH, penasehat hukum dari mantan Pangdam V/Brawijaya Letjen (Pur) TNI Djadja Suparman, kepada politikindonesia.com, Sabtu (20/07). Seperti diketahui, Djaja menjadi terdakwa kasus tukar guling tanah Kodam V Brawijaya kepada PT CMNP yang didakwa telah merugikan negara sebesar Rp13.440 miliar. Kasusnya tengah bergulir di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya.
Kata Samiaji, tahap demi tahap persidangan Militer Tinggi III Surabaya telah dapat membuktikan benar atau tidaknya dakwaan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 22 April 2013 lalu.
Samiaji menjelaskan, dalam pembuktian terkuak bahwa dakwaan yang menyebut terdakwa telah menerima uang dari PT CMNP sebagai kompensasi pelepasan tanah kepada PT CMNP/Ditjen Bina Marga ternyata tidak benar.
Hal itu terkuak dalam sidang pemeriksaan saksi – saksi dari PT CMNP pada tanggal 16 -17 Mei 2013. Saksi menyatakan bahwa PT CMNP memberikan bantuan yang bersifat murni kepada Kodam V/ Brawijaya. Bantuan itu tidak terkait dengan masalah tanah yang terkena jalan tol. Bantuan itu untuk pembangunan/ rehabilitasi bangunan Kodam dan pengadaan tanah.
Menurut Samiaji, dalam persidangan itu saksi mengatakan, uang sebesar Rp17.640 miliar itu diserahkan secara bertahap oleh Bendahara PT CMNP Sandi Soko Bawono kepada DP di Bank Lippo Surabaya pada 23 Februari dan 1,2 dan 6 April 1998. Pemberitan uang itu tanpa melalui prosedur pengeluaran dana yang benar dan tidak memberitahu atau melakukan konfirmasi kepada kliennya. Itu dilakukan karena CNMP yakin DP adalah kepercayaan terdakwa.
Samiaji menambahkan, fakta bahwa sekarang diatas tanah Kodam tersebut telah dibangun jalan Tol oleh PT Citra Marga Surabaya (PT CMS) dan dikelola oleh PT Jasa Marga serta dikuasai dan sudah atas nama Ditjen Bina Marga, bukan atas persetujuan Djaja.
Samiaji menjelaskan, sejak juli 1998, kliennya sudah pindah jabatan menjadi Pangdam Jaya dan pensiun pada 31 Desember 2005. Sedangkan proyek pembangunan jalan Tol Waru – Tanjung Perak yang direncanakan mulai dibangun pada tahun 1998 itu telah dihentikan sampai dengan tahun 2005, karena krisis moneter. Proyek itu baru dimulai kembali pada tahun 2006 dan dirubah menjadi route Waru - Juanda yang dibangun oleh oleh PT CMS.
Lebih jauh, Samiaji menerangkan, pernyataan telah terjadinya kerugian negara seperti yang tercantum dalam dakwaan Oditur Militer ternyata terbantahkan oleh keterangan ahli dari BPK, DR Harry Subowo. Ahli menyatakan, bahwa yang berhak menyatakan telah terjadinya kerugian negara adalah BPK, Kepastian telah terjadi kerugian negara dilakukan melalui pemeriksaan atas kerugian negara yang kemudian dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan kerugian negara. Pemeriksaan itu dilakukan atas permintaan penyidik. “Kalau proses ini belum dilakukan, maka dakwaan telah terjadinya kerugian negara itu belum bisa dibenarkan,” ujar Samiaji mengutip keterangan ahli tersebut.
Masih menurut ahli, menurut UU BPK RI, laporan hasil pemeriksaan (LHP) nomor: 48/HP/XIV/O8/2008 tanggal 4 Agustus 2008 baru merupakan petunjuk awal yang harus ditindak lanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik. Apabila berdasarkan fakta dan data sudah diyakini perkara ini memang terjadi, maka penyidik seharusnya meminta BPK untuk melakukan Pemeriksaan Atas Kerugian Negara (PAKN), melalui proses paparan oleh penyidik kepada tim BPK untuk menentukan tingkat kebenaran atas dugaan itu.
“Kalau proses ini belum dilakukan maka kesimpulannya dakwaan kepada terdakwa bukan tindak pidana Korupsi ,tetapi tindak pidana lain,” ujar Samiaji.
Samiaji mengatakan, menurut keterangan Herri Subowo, dalam perkara ini, memang pernah ada penyidik datang ke BPK yang meminta keterangan Tim Pemeriksa dalam LHP yang dikirim ke Puspomad. Tetapi hal itu ditolak BPK karena tidak sesuai dengan peraturan. BPK kemudian menyarankan agar penyidik meminta Pemeriksaan Atas kerugian Negara melalui proses memaparkan konstruksi hukumnya. Tapi, giliran permintaan itu yang ditolak, dengan alasan tidak ada kewajiban penyidik memaparkannya kepada BPK.
“Akhirnya proses hukum berjalan sampai di Pengadilan tanpa melalui ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pernyataan tentang telah terjadinya kerugian negara belum dapat dibuktikan dan perkara ini bukan tindak pidana korupsi,” ujar Samiaji.
Samiaji menambahkan, sejak dimulainya pemeriksaan sebagai tersangka Agustus 2009, ia yakin bahwa kliennya tidak bersalah. Pada waktu itu, ujar Samiaji, sudah terlihat, terasa dan terdengar, ada bau - bau tak sedap dalam perkara ini.
“Dilihat dari perbedaan substansi isi Rekomendasi Ketua BPK dengan isi Laporan Hasil Pemeriksaan Auditor Utama BPK yang notabene satu Atap dalam lembaga yang terpercaya, sudah menunjukkan adanya yang tak sedap untuk didengar apalagi dirasakan oleh klien saya,” ujar dia.
Samiaji mengatakan, jika semua pihak mau mengacu kepada UU dan ketentuan yang seharusnya, maka perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Militer Tinggi itu seharusnya telah batal demi hukum sejak 30 April 2013 lalu. “Faktanya, produk hukum yang dilimpahkan ke Pengadilan merupakan produk hukum yang dibuat oleh Papera yang salah dan dalam prosesnya dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum,” ujar dia.
Ditambahkan Samiaji, pihaknya sejak awal telah menolak surat dakwaan Oditur Militer yang ditujukan kepada kliennya. Alasannya, dari 31 dakwaan perbuatan primair dan 33 dakwaan perbuatan subsidair yang dituduhkan kepada kliennya, hanya 4 perbuatan saja yang terjadi saat kliennya menjabat Pangdam V Brawijaya. Sedangkan 60 perbuatan lainnya merupakan perbuatan Pangdam sebelum dan sesudahnya, perbuatan Gubernur dan Bina Marga, perbuatan Mabes TNI AD, PT CMNP, BPK dan pihak lainnya.
Samiaji menambahkan, walaupun banyak fakta yang menunjukkan bahwa proses hukum ini kurang independen atau patut diduga ada muatan kepentingan, pihaknya masih memiliki keyakinan bahwa Oditur Militer dan Majelis Hakim menegakkan hukum yang adil sesuai fakta persidangan. “Kalau itu tidak terjadi, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui,” tandas Samiaji.
© Copyright 2024, All Rights Reserved