Pelemahan nilai rupiah rupiah semakin mengkhawatirkan kalangan pelaku usaha. Anjloknya rupiah membawa pengaruh yang sangat tajam pada dunia usaha, khususnya pelaku ekspor dan impor.
Pada, Selasa (16/12), rupiah tercatat menembus level Rp12.937 per US$ pada perdagangan non-delivery forward (NDF). Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia tidak cukup kuat untuk membuat rupiah bangkit.
Direktur Eksekutif Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Bambang SN mengatakan, melemahnya kinerja para pelaku usaha mengalami pengaruh signifikan atas melemahnya nilai tukar ini.
“Sebetulnya dari sisi importir yang kami inginkan hanya kestabilan dan kepastian. Sebab hal tersebut membawa pengaruh dalam hal pengaturan cashflow," ujarnya, Rabu (16/12).
Bambang mengatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terlalu tajam membuat pengusaha mengalami kerugian bukan hanya dari sisi produksi, tapi juga rugi kurs.
Ia mengatakna, importir biasanya telah menyetujui kontrak mendatangkan barang dengan jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu, pada kurs tertentu yang telah disepakati.
“Kemarin estmasi kami di level 12 ribuan, tapi dengan terus melemahnya rupiah, otomatis importir harus mendatangkan barang dengan harga lebih tinggi, padahal sudah ada kontrak dengan proyeksi kurs tertentu. Importir jelas rugi," ujar dia.
Bambang menyebut, pelemahan rupiah memberatkan karena mempengaruhi harga jual dalam negeri yang naik. Sedangkan, daya beli masyarakat sedang melemah karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. “Meski demikian kami juga tidak bisa serta merta menaikkan harga," tuturnya.
Bambang mengatakan, hingga kini masih banyak bahan baku yang belum dapat diproduksi dari dalam negeri. “Gandum saja masih impor. Belum lagi bawang putih yang lebih dari 90 persennya impor karena di dalam negeri hanya mampu memenuhi paling banter 7 persen dari kebutuhan nasional," tambahnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved