Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang, Syamsul Arifin, menyoroti kondisi saat ini, banyak pemimpin yang muncul dengan tidak melalui proses alami. Bahkan bisa dibilang merupakan hasil rekayasa politik.
Menurut Syamsul, hal tersebut bisa terjadi apabila proses kaderisasi pemimpin tidak berjalan dengan semestinya.
“Pemimpin yang sebenarnya diproyeksikan untuk mengambil alih peran dan menjaga, dan mengatur dengan kemampuannya. Akan tetapi, saat ini faktanya banyak orang yang datang secara tiba-tiba dengan adanya rekayasa dan kemudian diusulkan menjadi pemimpin,” kata Syamsul Arifin dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika Sosial dan Pendidikan" yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Senin (2/9/2024).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Budaya dan Perubahan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayah Khisbiyah, menyebut, rekayasa pencalonan pemimpin mampu memangkas tingkat empati masyarakat di Indonesia.
Menurut Yayah, dari tidak adanya empati ke warga, maka praktik-praktik penyelewengan jabatan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme pun semakin marak.
“Rendahnya empati ini berkaitan dengan korupsi terjadi di semua lini di Indonesia,” kata Yayah.
Itu sebabnya, bersama dengan BPIP, Yayah sempat membuat model pembelajaran Pancasila yang lebih aplikatif untuk perguruan tinggi guna mengurangi permasalahan etika tersebut.
“Pendidikan Pancasila pada era sekarang harus dilakukan oleh dengan pendekatan yang mudah diakses dan tidak membosankan, khususnya berfokus pada revolusi mental. Perguruan tinggi banyak yang berminat dengan pendekatan ini,” pungkas Yayah. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved