Awal minggu kedua Januari 2002, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dinyatakan Kejaksaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana non-budgeter Bulog sebesar Rp 40 milyar.
Jaksa Agung MA Rachman mengakui Presiden Megawati sudah mengeluarkan surat izin untuk memeriksa Ketua DPR RI itu. Tim penyidik segera dibentuk serta sudah menyiapkan surat panggilan pemeriksaan.
Menyusul penetapan status tersangka tersebut, beberapa petinggi partai seakan memang menantikan langkah yang diambil Jaksa Agung. Bahkan ada partai yang tak puas dengan itu. Mereka menambah lagi tekanan politiknya dengan meminta Akbar mundur sebagai Ketua DPR RI. Sebut saja seperti yang disampaikan fungsionaris PDIP, PAN,FKKI dan PKB. Alasannya, selain alasan hokum, para petinggi partai ini juga mengungkapkan alasan etika.
“Akan lebih terhormat bagi pak Akbar, untuk memudahkan pemeriksaan, seyogyanya sementara mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR-RI,” kata Sekjen PDIP Sutjipto.
“Secara etis dan moral. Lebih baik Akbar menonaktifkan diri dulu. Baru jika nanti tidak terbukti, toh bisa direhabilitir,” ungkap AM Fatwa, petinggi PAN.Penonaktifan Akbar akan memperbaiki citra DPR , terutama untuk meredam sorotan masyarakat pada DPR yang mulai miring,tambahnya.
Dari dua contoh pernyataan diatas, setidaknya menimbulkan dua buah pertanyaan yang cukup hakiki. Pertama, apakah selama ini Akbar Tanjung memang menghambat proses pemeriksaan? Dan yang kedua, apakah memang karena Akbar, citra dan sorotan masyarakat menjadi miring terhadap DPR? Untuk menjawabnya, tentu dua hal pula yang harus menjadi acuannya, yakni aspek subjektifitas dan objektifitas. Tampaknya unsur pertama yang lebih mendominasi.
Bisa jadi, kondisi inilah yang menghantarkan pemikiran para pendukung Akbar untuk berbuat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di republik ini—tentu dengan catatan hukum itu berlaku sama bagi setiap individu.Prinsip praduga tak bersalah tetap harus dipegang dalam kasus Akbar Tanjung.
Kini, menjelang realcombat 2004, pertentangan politik antar elit partai melahirkan ketegangan politik yang kian mengeras dan terbuka. Sejauh ini memang belum muncul pernyataan keras dari Golkar tentang posisi mereka terhadap Pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan partai politik lainnya. Namun,diyakini partai yang bermarkas di Slipi ini tengah menyiapkan serangan balik terhadap lawan politiknya.
Bila dilakukan pendekatan secara melawan---ini perlu disadari dengan jernih oleh lawan politik Akbar, maka database dosa-dosa politik elit pemerintahan dan elit politik yang direkam secara rapi dan sistematis oleh Akbar akan segera terbuka. Sebagai politisi kawakan dan mantan menteri di era terdahulu, tentu itu semua dimiliki oleh Akbar. Bukan tidak mungkin, seiring dengan pemeriksaan dirinya, daftar cela dan dosa itu akan segera menghiasi media massa.Dan bila langkah ini yang terjadi, maka bisa diduga Kapal Indonesia akan berlabuh seperti Kapal Nabi Nuh atau setidaknya menjadi Argentina Ke-2.
Memang Akbar kini dalam posisi sulit. Di Golkar, kubu Akbar yang dimotori mantan aktivis HMI terdesak dengan manuver kelompok Iramasuka dan mereka yang mnyebut dirinya sebagai kelompok nasionalis. Ini merupakan buah dan bunga ketersingkiran mereka dalam Munaslub Golkar yang lalu. Sementara secara khusus Iramasuka memang ingin mendepak Akbar yang dianggap ‘berkhianat’ terhadap Habibie.
Perkembangan konstalasi politik di Golkar memang kian menajam. Kubu Iramasuka dan kino-kino Golkar tengah mempersiapkan Agung Laksono dan Muladi untuk menggeser Akbar sebagai Ketua Umum Golkar. Bahkan nama Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan dimunculkan oleh kelompok ini guna “mengusir” Akbar dari Golkar.
Sanggupkah Akbar bertahan sebagai Ketua Umum Golkar hingga 2004? Secara politik akan sulit, tetapi secara hukum Akbar akan lolos dari status sebagai terpidana.Dan ini semua sangat tergantung dengan upaya yang dilakukan Hamzah Haz, sebagai Ketua PPP serta Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP.
© Copyright 2024, All Rights Reserved