Para pekerja informal dan outsourcing belum terjamah layanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Padahal, mereka kelompok pekerja yang rentan terhadap kecelakaan kerja. Masih rendahnya kesadaran perusahaan, dan adanya kesan pembiaran oleh pemerintah dan PT Jamsostek memperburuk situasi tersebut.
Soal itu menjadi perhatian khusus Sri Rahayu, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat. Keprihatinan tersebut dikemukakan oleh politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan kepada politikindonesia.com disela-sela acara Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan jajaran PT Jamsostek (Persero) di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (18/05).
Politisi perempuan yang akrab dipanggil Yayuk ini, menilai kelemahan ini bukan bersumber dari lemahnya UU, tetapi pengimplementasian yang tidak sesuai harapan. Dia melihat belum ada sinergitas antara stakeholder dengan PT Jamsostek. Koordinasi kerja Jamsostek Pusat dengan cabang-cabangnya di daerah masih belum padu.
Bicara soal ini, katanya, maka tak dapat dipisahkan kaitannya dengan peran pemerintah daerah setempat, khususnya Dinas Tenaga Kerja, cabang Jamsostek dan aparat penegak hukumnya. “Sinergitas ketiganya mutlak dilakukan agar pemberian jaminan sosial tenaga kerja merata. Tak hanya pekerja formal, tapi juga bagi mereka yang bekerja di sektor informal dan outsourcing,” tambahnya.
“Jamsostek Pusat harus meningkatkan koordinasi dengan cabang-cabang di daerah. Jangan hanya mau menerima iuran peserta saja,” kritik mantan Ketua DPRD Kota Malang itu.
Yayuk pun mengurai peran masing-masing. Disnaker berperan untuk mendata kembali berapa pekerja di sektor formal yang belum mendapatkan layanan. Juga mendata pekerja di sektor informal dan outsourcing. Kantor cabang Jamsostek mendaftarkannya menjadi peserta. Pelaksanaannya diawasi aparat penegak hukum terkait. Termasuk memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak mau mendaftarkan pekerjanya. Sebab katanya, Jamsostek tidak memiliki kewenangan yurisdiksi.
Wanita kelahiran Nganjuk, 3 Desember 1960 itu menilai perlunya perda yang mengatur tentang perjanjian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penerima order kerja (outsourser). Perda tersebut tambahnya, harus mengatur klausul tentang Jamsostek dalam perjanjian kerja. Demikian pula, bagi pekerja di sektor informal.
“Tidak ada alasan bagi pemberi kerja untuk tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Jamsostek,” tegasnya. Pasal 13 UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Sosial (SJSN) junto Undang-Undang No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, telah mengatur kewajiban tersebut.
Pasal 13 UU No.40/2004, mengatur tentang kewajiban secara bertahap bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan diri serta pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.
Pada sisi lain, tambah Yayuk, sosialisasi pemberian jaminan sosial tenaga kerja harus terus ditingkatkan. Masih banyak pekerja yang belum memahami manfaat jadi peserta Jamsostek. Seperti diketahui, peserta Jamsostek berhak mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua dan kematian.
Bicara pelayanan, Yayuk menilai Jamsostek masih jauh dari memuaskan. Dia berkeras dengan pendapat itu, meski beberapa peserta rapat berpendapat sebaliknya.
Pendirian itu berdasarkan hasil kunjungan Yayuk ke daerah pemilihannya di Jawa Timur V yang meliputi Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang pada masa reses lalu. Yayuk memberi catatan, model administrasi kepengurusan Jamsostek setempat dan penanganan kecelakaan kerja, masih perlu pembenahan. Istri Drs Sirmadji itu mengaku banyak menerima keluhan pekerja. Itu jadi indikator, bahwa pelayanan PT Jamsostek setempat belum memuaskan.
Peningkatan Peserta
Berbeda dengan Yayuk, Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga justru mengklaim adanya peningkatan kepersertaan Jamsostek setiap tahunnya. Jumlah kepesertaan Jamsostek aktif maupun yang pasif (per Agustus 2009) mencapai 27.9 juta jiwa dari 191.700 perusahaan. Artinya, ada peningkatan 1.2 juta peserta dibanding tahun sebelumnya. Data tahun sebelumnya tercatat kepesertaan Jamsostek 26.7 juta jiwa dari 175.800 perusahaan.
Hotbonar menambahkan, dengan peningkatan tersebut, berarti upaya sosialisasi Jamsostek dalam merekrut kepesertaan, dapat dikatakan berhasil. Ia mengakui, keberhasilan tersebut harus diikuti dengan pelayan optimal dan penerapan kejujuran. “Pelayanan optimal yang ditopang kejujuran akan melanggengkan kepesertaan,” ujar dia.
Tentang target, Direktur Operasional dan Pelayanan PT Jamsostek (Persero), Ahmad Ansyori menjelaskan target penambahan kepesertaan Jamsostek 2010 sebesar 2,7 juta pekerja. Ia optimis target dapat tercapai meski perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agereement (ACFTA) membayanginya.
"Saat ini masih terdapat 25 juta pekerja formal yang belum menjadi peserta aktif Jamsostek. Ini perlu digarap secara serius agar target 2010 tercapai," ujar dia.
Terkait dengan penerapan UU Jamsostek, Hotbonar mengaku masih belum diterapkan secara baik. Akibatnya, jutaan tenaga kerja belum mendapat perlindungan dasar. Kewajiban menyertakan pekerja sebagai peserta Jamsostek cenderung disikapi sebagai beban biaya bagi perusahaan. Karena itu, banyak perusahaan yang menyertakan sebagian pekerjanya dalam program Jamsostek, atau malah tidak menyertakan mereka sama sekali.
Ia juga mengakui belum efektifnya sanksi yang diatur dalam UU tersebut. Bagi perusahaan yang melanggar diancam penjara maksimal enam bulan atau denda maksimal Rp50 juta. Untuk menghindari sanksi tersebut, banyak pengusaha yang akal-akalan.
“Agar terlihat mematuhi UU, sebagian perusahaan melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari sebenarnya. Dengan demikian iuran yang dibayar pun lebih rendah pula. Cara-cara ini, sangat merugikan pekerja,” ujar Hotbonar.
Hotbonar mengaku, pihaknya tak dapat menindak perusahaan nakal tersebut karena UU No.3/1992 tidak memberi kewenangan untuk itu. Di negara lain tambahnya, badan penyelenggara jaminan sosial berhak melakukan penegakan hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved