Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius menghadap Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/10). Suhardi meminta wewenang BNPT diperluas.

Suhardi mengakui membahas mengenai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR.

"Kami sampaikan ke Presiden, Pak, kami dari BNPT prinsipnya butuh proactive law enforcement, atau represif untuk preventif," kata Suhardi usai bertemu empat mata dengan Jokowi.

Menurut Suhardi dalam penanganan teroris harus ada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan sebagai langkah preventif dalam rangka mencegah radikalisme dan terorisme.

Suhardi mencontohkan, maraknya penyebaran ujaran kebencian atau hate speech di internet yang kerap belakangan ini. Kerap kali ujaran kebencian yang muncul di internet bisa menimbulkan benih-benih terorisme dan radikalisme.

Namun, kata Suhardi, sayangnya, BNPT tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pihak yang menyebar ujaran kebencian Itu. Padahal, BNPT sebenarnya hanya ingin meminta keterangan mengenai maksud penyebaran ujaran kebencian itu.

"Kalau sekarang itu bisa masuk dalam proses yang bisa dimintai keterangan dan sebagainya, akan lebih baik," kata Suhardi.

Contoh lain, BNPT juga tidak bisa melakukan penindakan apapun terhadap orang-orang yang pulang setelah bergabung dengan kelompok radikal ISIS.

Selama mereka tidak melakukan kejahatan di Indonesia, maka BNPT hanya bisa melakukan pengawasan. "Harusnya kan ada pasal-pasal yang mengatur. Kalau tidak kan kami enggak bisa berbuat apa-apa," kata Suhardi.

Suhardi mengaku, Presiden Jokowi menyambut baik usulan untuk memperkuat kewenangan BNPT ini. Ia meminta BNPT untuk mengkomunikasikan langsung usulan ini kepada panitia khusus RUU Terorisme di DPR.

"Beliau mendukung. Sifatnya kan beliau mendengarkan laporan saya, mendukung, kalau ada kesulitan kami diminta melapor ke Presiden," pungkas Suhardi.