Saat ini teknologi sudah sedemikian canggih, bahkan sudah masuk ke era artificial intelligence (AI) atau kecerdasakan buatan. Tapi kenapa hingga saat ini gempa bumi belum dapat diprediki.
Para pakar mengakui belum bisa memprediksi datangnya gempa karena lantaran hambatan geografis dan teknologi.
Beberapa hari lalu, sesar yang belum terpetakan di Laut Jawa bergeser dan memicu rangkaian gempa signifikan dekat Pulau Bawean, Jawa Timur.
Getaran gempa dimulai Jumat (22/3/2024) pukul 11.22 WIB dengan kekuatan Magnitudo 5,9.
Selanjutnya Gempa kuat lainnya terjadi pukul 15.52 WIB dengan M 6,5. Hingga Sabtu (23/3/2024) pukul 12.00 WIB, total ada 167 gempa yang tercatat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun kaget dengan energi gempa di wilayah sekitar Bawean ini.
"Jadi, kalau dilihat apa yang terjadi di Bawean kami juga surprise," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, dalam jumpa pers daring, Jumat (22/5/2024).
Menurut Daryono, kejadian ini tentu saja sebuah kejadian luar biasa. Di mana, sesarnya belum terpetakan dengan kredibel. Terlebih, hingga saat ini belum ada teknologi untuk memprediksi gempa.
"Kalau melihat konsep kegempaan yang saat ini memang belum ada yang bisa memprediksi gempa. Bahkan ilmu dan pengetahuan dan teknologi seismologi saat ini juga belum mendedikasikan untuk sebuah prediksi gempa," kata Daryono.
Untuk mengetahui mengapa gempa sulit diprediksi maka unsur yang pertama perlu dimengerti adalah bagaimana gempa bekerja.
Gempa bumi terjadi ketika sebuah patahan atau retakan di kerak bumi bergeser. Jumlah pergeseran yang lebih tinggi pada area yang lebih luas menyebabkan gempa bumi yang lebih besar.
Seluruh patahan tidak tergelincir sekaligus. Sebaliknya, gempa bumi dimulai dari satu titik, yakni suatu lokasi pada patahan yang mendapat tekanan yang lebih besar daripada kekuatannya.
Gempa bumi kecil terjadi sepanjang waktu, bahkan tercatat lebih dari 20.000 gempa bumi di atas magnitudo 4 terdeteksi di seluruh dunia setiap tahunnya.
Peneliti ilmu gempa dan kebumian dari Cornell University, Judith Hubbard, menyebut gempa bumi besar dimulai seperti gempa bumi kecil, namun dengan kekuatan yang terus bertambah dan lepas sekaligus.
"Setiap peningkatan magnitudo dikaitkan dengan pecahnya patahan sekitar lima kali lebih lama," kata Judith, seperti dikutip dari Anadolu Agency.
Menurut Judith, gempa M 5 disebabkan oleh pergeseran pada patahan sepanjang 2 kilometer; gempa M 6 disebabkan oleh patahan sepanjang 10 kilometer.
Gempa berkekuatan M 7 sepanjang 50 kilometer; gempa berkekuatan M 8 sepanjang 250 kilometer, dan gempa berkekuatan M 9 pada patahan sepanjang 1.250 kilometer.
Hubbard mengatakan, kerusakan menyebar dengan kecepatan beberapa kilometer per detik. Walhasil, gempa berkekuatan 8 SR mungkin terjadi dalam satu atau dua menit.
Hubbard menjelaskan, ketika gempa bumi bertambah panjang, pergeseran totalnya juga bertambah. Satu sisi patahan bergerak relatif terhadap sisi lainnya, mengubah tekanan di kerak bumi di sekitarnya, dan tekanan yang diterapkan pada patahan di dekatnya.
Para ilmuwan sudah mencari kemungkinan untuk mengetahui apakah gempa bumi kecil akan berkembang menjadi gempa bumi besar berdasarkan sinyal seismik awalnya.
Sayangnya, sebuah studi pada 2016 berjudul "Evidence for universal earthquake rupture initiation behavior" menyebut hal semacam itu tidak mungkin.
Menurut Hubbard, para ilmuwan telah menyelidiki apakah mungkin untuk mengetahui apakah gempa kecil akan berkembang menjadi besar berdasarkan sinyal seismik awalnya.
"Sayangnya, jawaban dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut adalah tidak," kata Hubbard.
Dengan melihat berbagai gempa bumi dari seluruh dunia, para penulis studi menyatakan sinyal seismik awal gempa bumi kecil dan besar terlihat sama.
Salah satu hal utama yang menentukan apakah retakan kecil akan membesar atau tidak adalah kondisi tekanan yang sudah ada di sepanjang patahan.
Sehingga, seiring berjalannya waktu, patahan akan menjadi lebih tertekan karena pergerakan lempeng tektonik yang lambat. Tingkat stres tergantung pada sejarah pergeseran patahan.
Tingkat tegangan ini dapat berubah oleh gempa bumi di dekatnya, yang menyebabkan pergeseran tiba-tiba pada kerak bumi. Ketika tekanan pada sesar lebih tinggi daripada kekuatan gesekannya, sesar dapat tergelincir.
Hubbard menjelaskan, terjadinya gempa bumi besar terjadi karena tegangan yang sudah ada sebelumnya pada area patahan besar harus mendekati kekuatan gesekan.
"Sehingga, tegangan dinamis cukup untuk mendorong patahan ke tepian, mengalir secara progresif di sepanjang patahan selama puluhan atau ratusan kilometer," kata Hubbard.
Sayangnya, kata Hubbard, tidak mungkin mengukur keadaan tegangan yang sudah ada pada suatu sesar. Sebaliknya, para ilmuwan hanya dapat memperkirakan perubahan keadaan tekanan - peningkatan tahunan gerakan tektonik, atau dampak dari satu gempa bumi terhadap patahan yang diketahui.
"Tanpa informasi mengenai tingkat tegangan absolut dan kekuatan patahan, informasi ini tidak cukup untuk mengetahui kapan suatu patahan akan terjadi," kata Hubbard.
Sebelumnya, beredar broadcast pesan berantai di WhatsApp yang menginfokan tentang prediksi gempa di RI dari peneliti asal Belanda, Frank Hoogerbeets, di Solar System Geometry Survey (SSGS).
Frank mengklaim ada kemungkinan terjadi gempa di Sulawesi, Halmahera, dan Laut Banda pada 3 dan 4 Maret 2023.
Frank mendasarkan prediksi tersebut pada aktivitas seismik di beberapa wilayah di sekitar Sulawesi, termasuk Kamchatka, Kepulauan Kuril, Jepang di bagian Utara, dan Filipina.
Berita ini lantas menjadi heboh karena sebelumnya, Hoogerbeets 'berhasil' memprediksi terjadinya gempa bumi Turki awal Februari. Meski demikian, pada akhirnya ramalan pakar gadungan untuk gempa di Sulawesi itu tidak terbukti.
Dua peneliti, yakni Marniati dari Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV Makassar; dan Imanuela Indah Pertiwi dari Stasiun Geofisika Kelas IV Kendari, menegaskan soal ketiadaan alat prediksi gempa dalam makalah 'Gempabumi Tektonik Bisa Diprediksi?'.
Menurut Marniati dam Imanuela, sampai saat ini, detik ini, BMKG sebagai instansi pemerintah yang memonitoring kejadian gempabumi di Indonesia selalu menginfokan kepada masyarakat bahwa gempabumi tektonik tidak dapat diprediksi waktu kejadiannya, baik hari, tanggal, jam, menit, hingga detiknya.
"Hal yang sangat perlu diketahui bahwa wilayah Indonesia tidak dapat terhindar dari kejadian-kejadian gempabumi," pungkas dia.[]
© Copyright 2024, All Rights Reserved