Metode konversi perhitungan hasil suara dalam pemilu untuk jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diperebutkan, adalah salah satu isu krusial yang muncul dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam RUU yang tengah dibahas antara DPR dan pemerintah itu, ada dua jenis metode yang diperdebatkan, yaitu metode Kuota Hare dan metode Sainte-Lague.
Merujuk pada namanya, metode Hare menggunakan kuota sederhana, yaitu jumlah minimal tertentu yang membuat sebuah partai politik dapat memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan.
Sebagai contoh, misalnya di suatu daerah pemilihan terdapat 10.000 suara dan jatah 10 kursi, maka kuota untuk mendapatkan satu kursi itu adalah 1.000 suara untuk setiap kursi.
Metode ini diciptakan oleh Sir Thomas Hare (1806-1891), seorang ahli hukum Inggris Raya. Awalnya, ia adalah anggota Partai Konservatif Inggris Raya, sebelum mengundurkan diri saat berusia sekitar 40 tahun.
Metode kuota yang dibuat Hare adalah salah satu upayanya agar dapat menciptakan sistem pemilihan yang dapat menciptakan hasil yang proporsional bagi setiap kalangan.
Dengan sistem pemilu perwakilan proporsional seperti ini, diyakininya akan mengakhiri kejahatan korupsi dalam pemilu serta ketidakpuasan yang mengarah kepada kekerasan di masyarakat.
Ironisnya, metode Hare tidak pernah diterapkan dalam Pemilu Inggris Raya. Hingga kini, pemilu Inggris Raya masih menggunakan sistem first-past-the-post, atau hanya satu kursi setiap daerah pemilihan.
Namun, metode kuota Hare dengan beragam variasinya saat ini digunakan di banyak negara, antara lain di Austria, Filipina, Italia, Korea Selatan, Meksiko, dan berbagai negara Afrika.
Adapun metode Sainte-Lague, sedikit berbeda. Metode ini menggunakan divisor atau angka pembagi terkait pendistribusian kursi yang diperoleh oleh setiap partai politik dalam suatu daerah pemilihan.
Metoda Sainte-Lague murni menggunakan rumus seluruh jumlah suara yang masuk dibagi dengan angka pembagi yaitu sistem berbasis rata-rata jumlah suara tertinggi untuk menentukan alokasi kursi dalam suatu daerah pemilihan.
Sebagai sebuah metode perhitungan, Sainte-Lague memang dapat dikatakan lebih kompleks dibandingkan dengan kuota Hare yang lebih simpel. Namun, tidak sedikit pula negara yang menggunakan Sainte-Lague dengan modifikasinya, seperti Bosnia-Herzegovina, Denmark, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Palestina.
Nama Sainte-Lague itu sendiri diambil dari nama ahli matematika Prancis Andre Sainte-Lague yang memperkenalkannya dalam artikel yang dituliskannya pada tahun 1910. Sainte-Lague, yang wafat tahun 1950 pada usia 67 tahun, selain sebagai seorang guru besar universitas di Paris, juga dikenal sebagai aktivis kaum pekerja.
Sama nasibnya dengan kuota Hare, metode Sainte-Lague juga tidak diterapkan di negara asalnya, karena Prancis hingga saat ini menggunakan sistem dua ronde (seperti Pilkada DKI Jakarta) untuk memilih wakil rakyat di setiap daerah pemilihannya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved