Ketentuan penerapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sejak awal April 2010, sangat memberatkan pelaku industri di sektor Migas. Karena menimbulkan implikasi terhadap penurunan kegiatan usaha produksi minyak dan gas bumi nasional. Selain itu, berpotensi meningkatkan pembiayaan cukup besar yang nantinya akan di-cost-recovery oleh negara.
Kepala Divisi Penunjang Operasi BP MIGAS, Sinang Bulawan mengemukakan hal tersebut, dalam Seminar Nasional CIDES bertema “Peluang dan Tantangan Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, di Jakarta, Kamis (17/06).
Menurut Sinang, kondisi target produksi dan realisasi penerimaan 2009, mencapai US$18,8 miliar dengan realisasi US$19,5 miliar. Target produksi minyak 2009 adalah 960 ribu barel dengan realisasi produksi hanya 948,48 ribu barel. Target produksi minyak 2010 diperkirakan 965 ribu barel per hari.
“Dengan diterapkannya UU No. 32 Tahun 2009, KKKS yang belum dapat memenuhi baku mutu berencana menurunkan produksi 387.188 BOPD,” kata Sinang.
Direktur Eksekutif CIDES, Rohmad Hadiwijoyo menjelaskan dengan teknologi industri yang memanfaatkan CO2 murni sebagai injeksi sumur-sumur minyak tua untuk Enhance Oil Recovery (EOR) dan injeksi CO2 murni ke pipa bor, dapat menurunkan batas ambang limbah baku. Karena CO2 murni sangat dingin minus 260C dan meningkatkan produksi minyak. Dengan begitu, target produksi energi migas nasional dapat terpenuhi sekaligus mengurangi dampak global warming dengan pemanfaatan CO2 murni.
Selain itu, kata Rohmad, masa transisi diperlukan untuk perbaikan penaatan peraturan yang membutuhkan waktu cukup lama sekitar 2 tahun. Juga melakukan inovasi teknologi untuk menyesuaikan UU tersebut dalam memenuhi ketentuan menurunkan batas ambang baku mutu limbah produksi.
Penerapan Sanksi
Dalam seminar yang sama, Pengamat Lingkungan Universitas Diponegoro, Prof. Sudharto P. Hadi menyampaikan perbandingan perubahan definisi pencemaran dan sanksi. Itu diterapkan dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 2007) dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009) mengenai ketentuan aturan baku mutu lingkungan hidup. Dalam UU sebelumnya (UU. No. 23 Tahun 2007) hanya menyebutkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Sudharto menyebutkan, Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota akan menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Hal ini, juga mengarah pada sanksi pidana jika melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan terhadap lingkungan dipidana. Hukumannya pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000.
Belum lama ini BP MIGAS, KKS, KLH dan Ditjen MIGAS telah melaksanakan Rapat Kerja Penaatan Peraturan Lingkungan, 8 – 11 Juni 2010. Tujuannya, membantu KKKS dalam aspek teknis dan pembiayaan dalam proses penyusunan usulan program Mekanisme Penaatan dan Pembinaan PROPER (MPPP).
© Copyright 2024, All Rights Reserved