Perayaan Tahun Baru Imlek yang seharusnya diwarnai perasaan suka-cita, namun sejumlah warga keturunan Tionghoa ternyata masih mengeluhkan perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
Sama seperti keluhan mereka bertahun-tahun yang lalu, mereka kembali mengungkapkan kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Ketiadaan KTP pada akhirnya menyebabkan banyak di antara mereka yang melangsungkan pernikahan, tetapi gagal mendapatkan surat pernikahan. Keturunan dari orangtua yang tidak mempunyai bukti identitas diri ini akhirnya mengakibatkan terkatung-katungnya akte kelahiran atau surat kenal lahir anak-anaknya.
Persoalan tersebut mengemuka dalam dialog yang digelar Perhimpunan Perempuan Tionghoa Miskin (PPTM) dan Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI) di QB Bookstore Jakarta, akhir pekan lalu.
Perlakuan diskriminatif yang terjadi hanya karena mereka adalah keturunan Tionghoa tersebut terjadi di Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Seorang ibu mengungkapkan, sejak lahir hingga menikah dirinya tidak mempunyai bukti identitas. 'Susah sekali mendapatkannya. Kami harus bolak balik ke kantor kelurahan dan menyertakan sejumlah berkas-berkas yang tidak kami miliki,' tutur ibu itu.
Ibu Megawati, juga warga Tegal Alur yang lebih berani dari rekan-rekan lainnya, mengaku frustasi dengan sikap aparat pemerintah di wilayahnya. ' Saya sekarang sudah punya KTP, tetapi satu anak dan satu cucu saya belum juga memiliki surat kenal lahir.
Anehnya, petugas terus meminta saya agar menyerahkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) waktu mengurus KTP anak saya itu. Mungkin alasannya karena anak saya itu berkulit putih seperti Cina tidak seperti anak saya yang lain yang sudah memiliki KTP,' ungkapnya.
Megawati mengakui bahwa leluhurnya memang keturunan Tionghoa yang sudah menikah dengan penduduk pribumi. Namun ironisnya, kenyataan tersebut ternyata menghambatnya mendapatkan KTP.
Ketua Pelaksana LADI, Rebeka Harsono mengingatkan, warga Tionghoa hingga kini masih menghadapi perlakuan diskriminatif yang sebenarnya tidak masuk akal. Dia mencontohkan kasus di Tegal Luar itu sebagai kejadian yang sebenarnya memalukan pemerintah Indonesia.
Para petugas pemerintah terus memaksa penduduk Tegal Alur keturunan Tionghoa untuk menyertakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, sejak beberapa tahun lalu pemerintah sering menyatakan bahwa SBKRI sudah tidak diperlukan lagi dalam pengurusan identitas warga keturunan Tionghoa.
Ironisnya, sikap aparat pemerintah daerah yang diskriminatif itu justru terjadi di DKI Jakarta yang seharusnya memberi contoh teladan pada daerah lainnya.
'Walikota Solo dan Semarang malah telah menghapuskan pemberlakuan mengenai SBKRI ini, eh, di Jakarta malah pemerintah daerahnya masih mempersulit warganya sendiri,' tambahnya.
Seorang perempuan warga Tegal Alur lainnya mengungkapkan, sebagian di antara mereka masih buta huruf dan miskin. Setiap hari mereka harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kondisi tersebut semakin terasa melelahkan ketika petugas pemerintah memaksanya bolak-balik mengurus pembuatan KTP, Kartu Keluarga ataupun surat kenal lahir keturunannya. ' Tidak semua keturunan Tionghoa itu kaya dan mampu menyogok pejabat pemerintah,' tambah Rebeka.
© Copyright 2024, All Rights Reserved