Nasib tujuh obligor penanda tangan perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) kembali akan ditentukan. Kali ini pertemuan tripartit antara pemerintah diwakili Departemen Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan digelar untuk menuntaskan masalah tersebut.
Ketujuh obligor itu adalah Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Ulung Bursah (Bank Lautan Berlian), Omar Putihrai (Bank Tamara), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Adisaputra dan James Januardy (Bank Namura), dan Agus Anwar (Bank Pelita/Istimarat).
Perihal itu diungkapkan oleh anggota BPK Hasan Bisri kepada wartawan di Jakarta, Kamis (22/3), "Mereka berjanji akan mengundang kami beserta pemerintah untuk dialog lebih detail," ujar Hasan. BPK, menurut Hasan, hanya sebagai narasumber atau pemberi {second opinion} dan bukan pengambil keputusan.
Karena itu bila DPR dan Pemerintah akan mengambil keputusan tentang nasib tujuh obligor tersebut, BPK akan keluar ruangan. "Kalau nanti (dalam pertemuan) DPR mau memutuskan, BPK akan keluar. Kami hanya memberi pandangan. Pemerintah dan DPR yang memutuskan," kata Hasan Bisri lebih jauh tentang posisi BPK dalam kasus itu.
Salah satu keputusan yang mesti diambil oleh pemerintah, menurut Hasan, adalah penyelesaian melalui mekanisme {out of court settlement} (diluar pengadilan) seperti keinginan awal atau melalui pengadilan. Dan jika menggunakan mekanisme {out of court settlement}, pemerintah harus memutuskan apakah akan menggunakan kalkulasi dalam akta perjanjian utang (APU) awal yang menghitung denda dan bunga atau APU reformulasi.
BPK telah mengkalkulasi kedua hal tersebut, hanya tinggal pemerintah dan DPR yang memutuskan apakah akan menggunakan APU awal atau APU reformulasi. Perbedaan kedua APU itu sangat besar nilainya. Hitungannya, jika BPK menggunakan asumsi tim PKPS Depkeu, jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) APU awal mencapai Rp9,368 triliun untuk tujuh obligor. Sedangkan JKPS APU reformulasi hanya Rp2,54 triliun, perbedaannya mencapai hampir Rp7 triliun.
"Jadi BPK sebatas menyajikan bahwa kalau mau menggunakan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) awal angkanya ini, dan kalau JKPS reformulasi angkanya ini," ungkap Hasan tentang hutang tujuh obligor tersebut.
[Selisih APU Reformulasi]
Dalam menghitung APU reformulasi antara BPK dan Depkeu terdapat selisih sebesar Rp243,765 miliar. Berdasarkan penelusuran tim PKPS BPK, APU reformulasi tercatat Rp2,297 triliun, sedangkan Depkeu menghitung APU reformulasi sebesar Rp2,541 triliun.
Perbedaan ini menurut anggota BPK Hasan Bisri karena ada deposito pihak terkait dan aset yang telah diserahkan pemegang saham kepada tim pemberesan BPPN dan telah dinilai penilai independen belum diperhitungkan Departemen Keuangan (Depkeu). Sedangkan dokumen kepemilikan aset tersebut telah berada di kustodi Depkeu.
Aset milik tujuh obligor yang penyerahannya belum dihitung Depkeu antara lain aset milik Atang Latief berupa tanah seluas 858.408 meter persegi di Cikupa Tangerang senilai Rp15,693 miliar dan Plaza Shinta di Tangerang senilai Rp19,283 miliar. Kemudian, aset tanah milik James dan Adisaputra Januardy seluas 5.004.420 meter persegi di Jasinga Bogor senilai Rp87,3 miliar yang belum dinilai.
Selain itu ada juga, aset tiga bidang tanah milik Ulung Bursah seluas 1.077.994 meter persegi di Duren Sawit, Lampung, dan Banten senilai Rp30,674 miliar yang juga belum diperhitungkan. Penyerahan aset Marimutu Sinivasan juga belum diperhitungkan berupa 16 ruko di Jabotabek, Bandung, Surabaya, Lampung, dan Banten senilai Rp16,856 miliar, serta set-off deposito atas nama M Sinivasan di Bank Putera Multikarsa.
Kita tunggu keputusan DPR dan Pemerintah mengenai nasih tujuh obligor kakap tersebut. Seharusnya keputusan tersebut dapat mengembalikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mereka salah gunakan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved