Bicaranya tegas dan blak-blakan. Itulah Eni Khaerani, anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Bengkulu. Jika tak sependapat, dia tak segan mengkritik. Termasuk soal putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 58 huruf q UU No. 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pencabutan pasal itu, membuat calon incumbent dalam pemilukada tak perlu mundur dari jabatan kepala daerah terlebih dulu.
Semua tahu, keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. Tapi perempuan kelahiran Bengkulu 28 Desember 1969, yakin masih ada cara lain untuk membuat aturan yang lebih berkeadilan. Toh, Mahkamah Konstitusi bukan Tuhan. Juga bukan malaikat. Putusan MK tersebut, ujar dia masih dapat diluruskan kembali. Caranya, dengan memprioritaskan revisi UU No.32/2004, dan membuat aturan yang lebih baik tentang calon incumbent.
Eni juga mengungkapkan ketidaksetujuannya, terkait wacana yang berkembang untuk mengembalikan sistem pemilihan langsung gubernur menjadi pemilihan model keterwakilan. Bagi senat perempuan ini, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah bentuk ideal bagi demokrasi di negeri ini.
Dia tidak menampik, bahwa sistem demokrasi langsung yang dilaksanakan masih ada kelemahan di sana–sini. Tetapi, jangan pula hal itu dijadikan alasan untuk menarik kembali sistem demokratis yang dibangun sebagai amanat dari reformasi. Kelemahan tersebut harus diperbaiki, tapi jangan dijadikan alasan untuk membuat mundur sistem demokrasi yang telah terbangun.
Mengapa ia keukeuh betul mempertahankan sistem pemilihan gubernur secara langsung? Apa alasannya, bahwa aturan pencalonan incumbent perlu ditinjau ulang dan direvisi? Ditemui usai sebuah acara diskusi di Gedung DPD, Rabu (16/06), Sekjen Kaukus Perempuan Parlemen DPD RI itu berbicara panjang lebar. Berikut penuturannya kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com:
Anda sangat tegas mendukung sistem pemilihan Gubernur langsung, apa alasannya?
Saya ingin sebuah demokrasi yang lebih ideal di negara kita. Jangan setengah-setengah seperti sekarang. Pendidikan politik masyarakat diabaikan, sementara sistemnya sudah maju. Pendidikan politik masyarakat harus simultan dengan demokrasi. Dengan begitu, aspirasi masyarakat bisa nyambung.
Semua tahu, masyarakat sudah tidak bisa dibeli suaranya. Masyarakat sudah lebih cerdas dalam menentukan pemimpin. Artinya, mereka mampu menentukan pemimpin. Karena itu, masyarakat juga harus dilibatkan dalam penentuan kebijakan-kebijakan setelah calon yang mereka pilih itu, betul-betul menjadi pemimpin.
Ini jadi tanggung jawab, pemimpin yang dipilih rakyat. Jangan lupa diri, tidak pernah terjun ke masyarakat. Akibatnya, program-program yang dibuat, tidak mengakar. Karena memang tidak bottom up. Masyarakat juga bisa kehilangan momentum untuk turut mengawasi kinerja pemerintahan. Ini sangat membahayakan kehidupan demokrasi kita.
Ada wacana untuk mengembalikan pemilihan Gubenur kepada sistem perwakilan. Bagaimana dengan ini?
Saya melihat ada opsi jalan tengah, bukan pada proses pemilihannya tetapi pada penentuan calon. Opsi jalan tengah itu, sistemnya tetap pemilihan langsung tetapi Presiden diberikan ruang untuk memberikan rekomendasi terhadap calon gubernur yang dianggapnya cocok menjadi wakilnya di daerah. Tetapi opsi ini kan belum final. Masih menjadi perdebatan.
Pasal 18 ayat 4 dan 5 UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR. DPR, DPD dan DPRD (MD3) menyebutkan bahwa Gubernur itu wakil pemerintah pusat di daerah. Disamping itu, ada peran lain sebagai kepala daerah. Jadi perannya ganda. Ketika dia berperan sebagai kepala daerah, maka ada semangat otonomi daerah. Namun ketika berperan sebagai wakil pemerintah pusat, ada fungsi lain yang harus dijalankannya. Kewenangan ini seharusnya ditetapkan dalam UU bukan sekedar Peraturan Pemerintah (PP). UU tersebut harus menegaskan masing-masing fungsi secara lebih tegas. Sehingga tidak ada kerancuan dalam melakukan koordinasi ke bawah.
Bagaimana anda menilai sejauh ini pelaksanaan pilgub di beberapa provinsi yang telah digelar?
Kementerian Dalam Negeri sedang mengevaluasi itu. Tetapi, menurut saya masih terlalu pagi untuk dievaluasi. Mengapa? Kita masih berada pada tahap mencari format yang terbaik. Saya lihat belum ideal, kalau mau dievaluasi minimal setelah tiga periode.
Tapi itu bukan berarti saya tidak setuju untuk direvisi. Bagi saya, apapun hasil revisi, jangan kemudian sistem pemilihannya yang sudah tepat itu dihancurkan dan kembali pada sistem perwakilan. Sistem lama itu sudah terbukti hanya menciptakan kesenjangan ekonomi yang tajam. Gap antara si kaya dan si miskin begitu lebar. Tingkat kemiskinan juga masih tetap tinggi.
Saya khawatir jika evaluasi diarahkan untuk mengembalikan kepada sistem lama. Ini tindakan yang prematur, jika itu terjadi, saya justru curiga ada kepentingan tersembunyi dan saling tarik-menarik dibalik itu. Jangan lupa, korbannya selalu rakyat. Siapa lagi kalau bukan rakyat.
Banyak kritik pengawasan dalam Pilgub belum berjalan optimal. Komentar anda?
Betul sekali. Ke depan, baik Bawaslu maupun Panwas harus diberikan kewenangan yang lebih kuat. Sumber anggarannya juga harus dari APBN. Saat ini incumbent pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, tidak perlu mengundurkan diri dulu enam bulan sebelum pencalonan. Ini rawan penyimpangan dan dapat menimbulkan arogansi kekuasaan. Sepanjang anggarannya masih diambil dari APBD, maka incumbent bisa ikut bermain dan dengan leluasa menggunakan fasilitas pemerintah. Ini tidak adil dan tidak sehat bagi kehidupan demokrasi kita. Karena itu, Bawaslu maupun Panwas harus diberi penguatan agar dapat mencegah hal itu.
Tapi bukankah putusan MK itu bersifat final dan mengikat?
Betul. Tapi MK kan bukan Tuhan. Dia juga bukan malaikat. Kalau memang masyarakat merasakan selama ini keputusan MK tersebut berdampak negatif di daerah, maka undang-undangnya perlu direvisi. Karena itu, menjadi penting agar RUU Pemilukada yang merupakan pecahan dari UU No.32/2004 itu, segera disahkan.
Saya pikir dengan argumentasi yang baik dan dengan pertimbangan matang, maka incumbent seharusnya mengundurkan diri enam bulan sebelum pencalonannya. Itu demi terwujudnya keadilan dan fairness bagi calon-calon gubernur yang bukan incumbent.
Apa saja upaya DPD dalam revisi UU No.32 Tahun 2004 tersebut?
Beberapa hal yang saya kemukakan tadi, juga jadi wacana dan berkembang di Komite I DPD. Kami juga telah mengundang Menteri Dalam Negeri untuk memberikan masukan tentang hal itu.
Selanjutnya kami diskusikan lebih jauh. Kami juga telah mendengarkan aspirasi dari daerah -daerah. Lembaga ini (DPR-red) kan merupakan aspirasi perwakilan provinsi seluruh Indonesia. Disamping itu, kami juga melakukan penyerapan aspirasi dari perguruan tinggi, tokoh masyarakat, Pemda, DPRD. Akumulasi dari semua itu tergambar dari berbagai macam argumentasi yang disampaikan anggota dan diperdebatkan di Komite I DPD yang membidangi otonomi daerah, politik, hukum dan HAM.
Bagaimana dengan Komisi II DPR yang paling berkompeten terhadap hal itu?
Kami juga selalu berkomunikasi dengan Komisi II DPR. Belum lama ini bahkan kami mengundang para ketua dan beberapa anggota dalam RDPU di Komite I. Salah satu tujuannya untuk menyampaikan hasil kesepakatan Komite I. Misalnya hal-hal apa yang harus diperjuangkan melalui revisi tersebut. Melalui RDP tersebut minimal aspirasi kami sudah didengar. Komite kami juga masih melakukan kajian tentang hal itu secara lebih mendalam.
Kewenangan DPD dari sisi legislasi kan masih terbatas, anda optimis hal itu bisa dilaksanakan?
Ini memang sedang kami kaji kembali. Kami mengakui dari sisi legislasi masih banyak kelemahan. Ke depan DPD harus menjalin hubungan dengan media massa. Sehingga berbagai macam perjuangan yang dilakukan DPD, dapat segera diketahui masyarakat luas. Jadi masyarakat juga mengetahui seberapa penting lembaga DPD itu bagi mereka.
DPD juga perlu meningkatkan lobi-lobi, konvensi dengan pemerintah, sehingga hasil-hasil pembahasan kami dapat ditindaklanjuti DPR maupun pemerintah. Kami tegaskan, hasil pemikiran DPD bukan asal-asalan. Tetapi berdasarkan data, fakta dan kajian mendalam tentang NKRI.
Bukankah UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 telah memberikan kewenangan bagi DPD?
Iya UU MD3 memang telah memberikan ruang yang lebih baik dalam memperjuangkan setiap RUU. Karena itu kami selalu wanti-wanti agar kewenangan itu, jangan direduksi. Dalam arti, tata tertib DPR juga harus sinkron dengan UU tersebut. Masing-masing sudah diberikan kewenangan itu. Karenanya jangan saling mengeleminir.
Itu artinya DPD sudah semakin kuat?
Dari sisi legislasi, iya. Pada UU sebelumnya kan kewenangan legislasi kami sempit sekali. Kita hanya boleh memberikan masukan pada tahap pertama. Itupun harus dilakukan secara tertulis. Padahal memperkuat sebuah argumentasi, tidak bisa hanya secara tertulis. Harus disampaikan melalui perdebatan-perdebatan guna mencari hasil terbaik. Pada UU MD3 kewenangan legislasi sudah lebih baik, meskipun masih belum berimbang.
Apakah lantaran itu, muncul wacana untuk mengamandemen kembali UUD 1945?
Saat ini DPD tengah melakukan kerjasama dengan banyak perguruan tinggi, ormas dan LSM di berbagai daerah. Harapan kami ke depan, yang menginginkan amandemen itu bukan hanya DPD tetapi juga masyarakat dalam membenahi sistem ketatanegaraan kita.
Jika amandemen hanya dari DPD, maka resistensinya luar biasa besar dan berat. Jumlah anggota DPD juga masih sedikit. Ke depan, kami berharap DPD diberikan kewenangan yang lebih besar dari yang ada sekarang, sehingga check and balances dapat dilaksanakan dengan baik.
Biodata Singkat :
Nama : Dra. Eni Khaerani M.Si.
Tempat/Tgl Lahir : Bengkulu 28 Desember 1969
Anggota DPD RI : Periode 2009-2014
Provinsi : Bengkulu
Komite : I
Perolehan Suara : 46.095 (7,68%)
© Copyright 2024, All Rights Reserved