Hari ini, Kamis (15/09), politisi Gerindra Habiburokhman akan memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam uji materi cuti petaha yang diajukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Tak hanya menyampaikan argumen, Habib juga berencana melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi yang menangani perkara ini kepada Ketua MK.
"Kami terlebih dahulu akan menyampaikan laporan dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi yang terjadi dalam Pemeriksaan Perkara Nomor 60/PUU-XIV/2016 dengan Pemohon Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok," kata Habiburokhman melalui pesan singkat, Kamis. .
Habib mengemukakan 3 alasannya mengadukan dugaan pelanggaran. “Yang pertama, selama dua kali persidangan pemeriksaan pendahuluan MK tidak meminta Ahok menunjukkan dan menyerahkan Surat Keterangan Khusus tentang staf yang mendampinginya saat persidangan,” ujar dia.
Habib menyebut, orang yang bernama Ryan tersebut bukanlah kuasa hukum dan bukan pula pemohon prinsipal sehingga seharusnya berdasarkan Pasal 44 UU MK, dia membawa surat keterangan khusus untuk ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis.
“Tidak dimintanya Surat Keterangan Khusus tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 3 ayat (1) huruf a Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi yang mengharuskan alam Penyelesaian Perkara, Hakim Konstitusi bersikap dan bertindak menurut ketentuan yang digariskan dalam Hukum Acara,” ujar Habib.
Alasan kedua, MK memeriksa perkara uji materiil UU Pilkada secara cepat. Relas panggilan sidang kepada Presiden dan DPR disampaikan secara tidak layak yaitu hanya 1 hari kerja sebelum persidangan dengan acara keterangan Presiden dan DPR.
“Kami tidak melihat satupun alasan bagi MK untuk memprioritaskan perkara ini karena gugatan ini tidak menyangkut kepentingan mendesak orang banyak. Bahkan dari sekian banyak petahana yang akan ikut kembali dalam ajang Pilkada cuma Ahok sendiri yang mempersoalkan pasal cuti kampanye tersebut. Permohonan uji materiil ini 100 persen hanya kepentingan prbadi Ahok saja,” ujar dia.
Habib menambahkan, pernyataan Ketua MK bahwa Uji Materiil UU Pilkada diprioritaskan karena alasan urgensi terkait akan segera diselenggaraakannya Pilkada serentak tidak dapat diterima. “Kita bisa bandingkan dengan Perkara Uji Materiil Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan Pemohon Effendi Gazali yang intinya memohon Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif dilaksankan serentak yang didaftarkan 10 Januari 2013 namun baru diputus pada tanggal 23 Januari 2014,” ujar dia .
Akibat lamanya pemeriksaan MK tersebut, putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan Effendi Gazali tidak dapat dilaksanakan pada Pemilu 2014 karena tahapan dan jadwal Pemilu 2014 sudah terlanjur dilaksanakan.
Habib menyebut, perbedaan perlakuan terhadap Effendi Gazali dan Ahok ini merupakan pelangaran Pasal 3 ayat (1) huruf b Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi yang mengharuskan MK memperlakukan semua pihak yang berperkara secara berimbang, tdak diskriminatif dan tidak memihak.
Alasan ketiga pada hari Kamis 1 September 2016 lalu Ketua MK bersama sejumlah hakim MK lainnya bertemu Presiden Jokowi yang merupakan pihak terkait langsung dalam uji materiil UU Pilkada.
Habib menilai, tindakan mereka merupakan pelanggaran serius Pasal 3 ayat (1) huruf d yang mengharuskan hakim MK menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan.
“Berdasarkan dalil-dalil terurai di atas dengan ini kami mohon agar dapat dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan terhadap siapapaun yang terbukti melanggar agar dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tandas Habiburokhman.
© Copyright 2024, All Rights Reserved