Kasus penjualan dua kapal super tanker milik Pertamina kepada Frontline Limited pada tahun 2004 dalam era Presiden Megawati Soekarnoputri kembali digugat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna di Jakarta, Selasa (16/1), memutuskan menggunakan Hak Angket untuk kasus tersebut karena sarat dugaan korupsi.
"Sesuai dengan hasil keputusan sidang paripurna tadi, semua fraksi menyatakan mendukung dan menyetujui rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap kasus penjualan kapal tanker Pertamina itu dan dalam satu atau dua hari ini hal ini akan kita sampaikan kepada Presiden," kata Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
Keputusan itu diambil setelah Pansus Hak Angket DPR RI melaporkan hasil investigasinya terhadap penjualan dua super tanker tersebut. Selain itu keputusan menggunakan Hak Angket itu juga setelah mendengar pandangan akhir dari kesepuluh fraksi terhadap laporan Pansus tersebut.
Dalam laporan Pansus Hak Angket terhadap kasus penjualan tanker Pertamina yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pansus, Sutan Bhatoegana, merekomendasikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung agar segera mengusut secara tuntas mantan Meneg BUMN saat itu, Laksamana Sukardi. Hal ini karena Laksamana diduga kuat terlibat dalam penjualan tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina.
Kesalahan Laksamana selaku Meneng BUMN dengan cara melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yakni pasal 16, pasal 19 huruf d, dan pasal 22. Selain itu Laksamana juga telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran atas nama Menteri Keuangan tanggal 11 November 2003.
"Laksamana juga telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran atas nama Menteri Keuangan tanggal 11 November 2003 yang menyatakan bahwa berhubung inventarisasi aset Pertamina belum selesai dilaksanakan, maka penjualan atau penghapusan aset yang merupakan bagian penyertaan modal negara harus dengan persetujuan Menteri Keuangan," ungkap Sutan berapi-api.
Selain itu, Pansus menilai Laksamana juga telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Ini dapat dilihat dari penunjukan langsung Goldman Sachs Pte sebagai Financial Advisor dan Arranger serta keterlibatan PT Equinox dalam penentuan Frontline Limited sebagai pemenang.
Akibatnya, lanjut Sutan, negara, paling tidak, telah dirugikan sebesar 20 juta dolar AS hingga 50 juta dolar AS karena dua kapal tanker VLCC itu dijual hanya 180 juta dolar AS padahal harganya saat itu sekitar 200 juta dolar AS sampai 240 juta dolar AS.
Pansus ini juga merekomendasikan agar pemerintah selaku pemegang saham Pertamina untuk mengambil langkah cepat menyelamatkan aset negara. Ini karena Frontline belum melakukan pelunasan atas pembelian dua kapal tanker VLCC itu sebagaimana telah diperjanjikan dalam "Sale and Purchase Agreement" (SPA).
"Dari nilai transaksi sebesar 184 juta dolar AS, Frontline baru membayar sebesar 170,863 juta dolar AS sehingga masih ada selisih pembayaran sebesar 13,137 juta dolar AS," kata Sutan. Selain itu pemerintah juga harus mengawasi dan memastikan Pertamina benar-benar melaksanakan sepenuhnya keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah dikuatkan oleh keputusan Mahkamah Agung tentang pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved