Nahdlatul Ulama (NU) tidak akan ikut-ikutan dalam gerakan cabut mandat karena arahnya merupakan politik kekuasaan. Namun NU tidak ‘mengharamkan’ bagi dirinya maupun pihak-pihak lain yang mau melakukan kritik terhadap pemerintah. Hal ini dikemukakan oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menanggapi gerakan cabut mandat yang dipelopori Hariman Cs.
"Kritik terhadap kondisi bangsa, NU ikut. Tapi untuk urusan copot atau cabut mandat orang, NU tidak ikut-ikut," tegas Hasyim di Jakarta, Selasa (16/1). Hasyim juga menyatakan jika NU mengkritik kinerja pemerintah, hal itu dilakukan agar ada perbaikan yang ujung-ujungnya demi kepentingan umat. Misalnya kritik terhadap terjadinya kasus kelaparan jamaah haji di Arafah beberapa waktu lalu.
Selain itu, NU juga mengkritik penegakan hukum yang masih tebang pilih, kebijakan ekonomi yang dianggap kurang berpihak pada rakyat kecil, kemerosotan moral, pelayanan publik yang belum baik, dan lain-lain.
Sedangkan gerakan cabut mandat dinilai Hasyim lebih bertendensi pada persoalan kekuasaan yang bukan menjadi bidang garapan maupun "concern" NU. "Itu bukan kapasitas NU," ujar Hasyim dengan nada kalem.
Ketika ditanya wartawan mengenai isi pertemuan di markas Badan Intelijen Negara (BIN) pada Kamis (11/1) lalu, Hasyim menyatakan pertemuan itu merupakan diskusi mengenai dampak amandemen UUD 1945. Menurut Ketua Umum PBNU ini, pertemuan itu juga dihadiri oleh mantan Wapres Try Sutrisno dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.
"Hanya diskusi soal dampak amandemen UUD 1945 karena hingga saat ini masih ada pro-kontra terkait masalah itu. Ada yang ingin mempertahankan amandemen, ada yang ingin kembali ke UUD sebelum diamandemen dan ada yang ingin amandemen dikaji ulang," ungkap Hasyim mengenai pertemuan di markas BIN itu.
Hasyim ternyata cukup terbuka terhadap pertemuan tersebut. Ini ditandai dengan penjelasannya bahwa salah satu segi yang didiskusikan adalah apakah amandemen itu dilakukan sebagai solusi, rekonstruksi, atau sekedar reaksi terhadap berbagai kelemahan atau kesalahan yang terjadi di masa lalu.
"Setelah diteliti ternyata lebih banyak bersifat reaksi," katanya. Hasyim juga mencontohkan yaitu soal otonomi daerah merupakan reaksi terhadap pemerintahan masa lalu yang sentralistik, `parliament heavy` sebagai reaksi terhadap `executive heavy` dan sebagainya.
Tapi, kata Hasyim, dalam diskusi itu juga menyimpulkan bahwa bukan berarti amandemen UUD 1945 tidak memiliki kontribusi dalam pembangunan demokrasi. Bagaimanapun, berbagai kesalahan dan kelemahan di masa lalu harus dikoreksi. "Bagaimana tidak dikoreksi? Kejahatan HAM dahsyat, DPR hanya jadi tukang stempel, monolitik, dan sebagainya. Yang jadi persoalan adalah bagaimana bentuk koreksinya," kata Hasyim tegas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved