Badan Informasi dan Geospasial (BIG) mengumumkan Tim International Peat Mapping (IPM) sebagai pemenang kompetisi Indonesian Peat Prize. Tim tersebut terdiri dari Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Universitas Sriwijaya. Mereka berhak atas hadiah sebesar US$1 juta.
Kompetisi yang berlangsung selama 2 tahun ini bertujuan untuk menemukan metode terbaik untuk memetakan luasan dan ketebalan lahan gambut.
“Nantinya pemerintah akan menggunakan metode pemenang untuk melindungi dan mengelola lahan gambut, mempercepat restorasi gambut dan mendukung tujuan pembangunan Indonesia. Oleh sebab iti, pengelolaan lahan gambut harus dikelola dengan baik,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Hasanudin Z. Abidin kepada politikindonesia.com di Jakarta, Jumat (02/02).
Menurutnya, kompetisi tersebut diikuti oleh 44 tim peserta yang meliputi berbagai pakar ternama di bidang gambut dan pemetaan. Akhirnya, Dewan Penasihat Ilmiah (ilmuwan dan pakar yang menilai aplikasi peserta) memutuskan bahwa tim International Peat Mapping berhasil menawarkan metode yang relatif paling akurat, terjangkau dan tepat waktu untuk memetakan lahan gambut.
“Dengan adanya kompetisi ini mampu tercipta kolaborasi sehingga dapat dilihat begitu pentingnya pemetaan lahan gambut. Sehingga metodenya bisa diyakini menghasilkan informasi mengenai lahan gambut yang akurat dan sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan,” ungkapnya.
Setelah adanya pemenang, lanjut Hasanudin, pihaknya akan memimpin proses standarisasi dengan merevisi standard nasional pemetaan lahan gambut skala 1:50.000. Sehingga peta hasil pemenang mampu memberikan informasi kepada semua pihak terkait yang membutuhkan dam mampu membantu pihak mengambil keputusan, termasuk restorasi gambut.
“Kami akan memanfaatkan metode pemenang sebagai rujukan memperbaiki standard nasional Indonesia (SNl) untuk pemetaan lahan gambut. Selain itu, kami juga akan mengeluarkan peraturan dan segera memulai proses tersebut,” tegasnya.
Dipaparkan, kemenangan Tim International Peat Mapping, lantaran berhasil mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR, dan pengukuran lapangan. Sehingga menghasilkan metode pemetaan gambut yang akurat, cepat, dan terjangkau. Tim mengaplikasikan produk bernama WorldDEM yang menggunakan citra satelit untuk membuat model permukaan bumi dengan resolusi 10 meter, serta citra satelit Sentinel.
“Tim mengombinasikan teknologi berbasis satelit ini dengan model permukaan bumi yang dihasilkan dari LiDAR (teknologi yang menggunakan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi 3 dimensi) yang diterbangkan dengan pesawat. Metodologi tim juga mencakup pengukuran lapangan untuk menghasilkan model yang dapat mengukur ketebalan gambut secara akurat. Selain itu, tim tersebut juga melakukan verifikasi lapangan atas data gambut yang dihasilkan dengan berbagai teknologi itu,” urainya.
Diterangkan, pihaknya merasa bangga karena kompetisi ini telah menghasilkan metode terbaik untuk memetakan lahan gambut. Sehingga dapat mengombinasikan ketepatan waktu, biaya, dan keakuratan untuk mendukung tugasnya dalam pemetaan dan penyediaan data dan informasi geospasial.
“Diharapkan, tim ini bisa merespin minimnya dan kurang akuratnya serta kurang kekiniian data dan informasi gambut di Indonesia. Sebab gambut merupakan lapisan vegetasi dan tanah yang tebal dan basah yang tertimbun selama ribuan tahun. Gambut dapat ditemukan di banyak ekosistem tropis. Apalagi, Indonesia merupakan rumah bagi hutan rawa gambut terbesar di dunia,” ucapnya.
Dipaparkan, sebenarkan lahan gambut sangat kaya akan kandungan karbon dan keanekaragaman hayati, namun seringkali dikeringkan atau dibakar. Hal itu dilakukan untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Padahal, lahan gambut adalah sumber emisi karbon yang besar ketika dibakar atau membusuk. Pada tahun 2015, lahan gambut berkontribusi pada sekitar 42 persen emisi di Indonesia.
“Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di tahun yang sama, juga mengakibatkan sekitar 100.000 kematian dini, menimbulkan kerugian ekonomi yang mencapai Rp221 triliun serta melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca. Angka itu setara dengan emisi yang dikeluarkan 350.000 kendaraan sepanjang tahun,” imbuhnya.
Sementara itu, perwakilan dari tim International Peat Mapping, Florian Siegert menambahkan, pengukuran kedalaman, atau ketebalan, lahan gambut sangatlah penting. Makin tebal lapisan gambut, makin parah pula dampak ekologis yang ditimbulkan. Sehingga gangguan terhadap gambut, termasuk emisi karbon.
“Ketidakpastian mengenai data dan informasi tentang gambut telah menghambat berbagai upaya perlindungan dan restorasi gambut. Selain itu, menciptakan ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melanjutkan alih fungsi lahan gambut, yang seringkali menyebabkan keringnya gambut dan timbulnya kebakaran,” katanya.
Pihaknya mengaku senang bisa keluar sebagai pemenang. Sebab, timnya sudah melakukan penelitian mengenai lahan gambut tropis sejak awal 1990. Bahkan, timnua juga memiliki rekam jejak yang panjang dalam mendukung proyek konservasi dan restorasi lahan gambut.
“Kami siap mendukung penelitian dan kerja sama ilmiah antara universitas di Indonesia dan Jerman serta pemerintah untuk menerapkan dan mengembangkan lebih lanjut metode kami untuk mengelola, melindungi, dan merestorasi lahan gambut di Indonesia dan di seluruh dunia,” ujarnya.
Dia menjelaskan, penelitian yang selama ini dilakukan menunjukkan, ketika tingkat air tanah di hutan rawa gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran. Metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah gambut, yang dapat digunakan untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lainnya untuk tujuan restorasi.
“Kami tidak hanya merepresentasikan sebuah solusi terobosan bagi Indonesia, tetapi juga menyediakan jalan bagi masyarakat di seluruh dunia untuk bekerja sama memperbaiki tata kelola dan konservasi lahan gambut. Sehingga metodenkami ini menunjukkan sebuah terobosan tekonologi, yang dihasilkan dengan cara yang transparan untuk memetakan lahan gambut secara akurat, terjangkau, dan tepat waktu. Karena merepresentasikan kolaborasi internasional dan perhatian untuk mencapai target global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celsius,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved