Publik NTT bertanya-tanya, mengapa izin presiden untuk memeriksa Gubernur Pieter Alexander Tallo sebagai tersangka kasus korupsi Sarana Kesehatan tak kunjung turun.
Janji Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjerat koruptor, bikin 3 juta jiwa rakyat NTT penasaran. Ada yang cemas, jangan-jangan janji tersebut sekedar kecap untuk meraup suara massa pada Pilpres silam. Yang lainnya yakin, SBY tidak sekedar berjualan obat. “ Saya yakin dengan janji SBY itu. Tapi, setelah pelantikan 20 Oktober 2004, itu harus dibuktikan. Jika tidak kepercayaan publik akan luntur “, ujar pengacara Gabriel Suku Kothan,SH, M.Si, menjawab PILARS, Kamis pagi (14/10).
Menurut Gabriel, di wilayah NTT, kini publik menaruh atensi serius terhadap korupsi mega proyek Sarana Kesehatan (Sarkes) Tahun 2002, senilai Rp.15 milyar. Proyek itu menurut audit BPKP Cabang Kupang merugikan negara sebesar Rp.3,83 milyar. “ Kasus ini perlu mendapat perhatian Presiden SBY, “pintanya.
Gabriel menjelaskan, kasus korupsi itu, kini jadi cibiran publik, karena izin presiden untuk memeriksa gubernur NTT, Pieter Alexander Tallo,SH, sebagai salah satu tersangka, tak kunjung turun, sejak tahun 2003. “ Polisi ajukan izin untuk periksa gubernur sebagai saksi, izinnya tidak turun. Ketika polisi ajukan izin lagi untuk periksa gubernur sebagai tersangka, izinnya tidak turun-turun juga. .Ada apa ini ?“, kesalnya.
Itu sebabnya, Gabriel mengharapkan, presiden terpilih SBY secepatnya memberi izin untuk memeriksa siapa pun pejabat di NTT yang terindikasi, baik sebagai saksi mau pun tersangka kasus korupsi. Seperti, kasus gubernur NTT itu.
Pieter Alexander Tallo,SH, ditetapkan Polres Kupang sebagai salah satu dari sembilan tersangka kasus korupsi Proyek Sarkes. Lulusan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta itu, dituding melanggar Kepres Nomor: 18/Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara.
Dalam kasus ini, Tallo dituding bertanggung jawab atas izin prinsip yang dikeluarkannya untuk memenangkan Firma Antares, Jakarta, melalui sistim Pemilihan Langsung (PLM) dan Penunjukkan Langsung (PL) dalam pengerjaann proyek tersebut. Kebijakan gubernur mengeluarkan izin prinsip inilah mengakibatkan proyek itu merugikan negara senilai Rp.3,83 milyar.
Sayang, sampai kini, Tallo belum diperiksa, gara-gara izin dari presiden Megawati tak kunjung turun. Ini memicu dugaan, jangan-jangan Megawati dengan sengaja melindungi Tallo, karena pria berrambut putih itu naik ke kursi gubernur berkat dukungan PDIP, partai bersimbol banteng mulut putih yang dinakodai Megawati.
“Jadi, ukuran NTT, ujian pertama bagi SBY adalah apa bisa, ia keluarkan izin untuk periksa gubernur. Saya kira proses perizinan untuk periksa pejabat adalah ganjalan utama dalam penanganan kasus korupsi di NTT. Ini harus jadi prioritas presiden SBY “, pinta Gabriel.
Pandangan senada juga dilontarkan Yonathan Kana, Ketua DPD Partai Demokrat, ketika ditemui terpisah di kediamannya, Rabu malam (13/10). “ Saya yakin Pak SBY serius memberantas korupsi “, ujarnya kepada PILARS.
Menurut Yonathan, semua kasus korupsi yang cendrung jalan-jalan di tempat, sudah diinventarisir kubu presiden SBY. Termasuk kasus Sarkes yang melibatkan gubernur NTT itu. “ Ketika datang ke Kupang saat kampanye Pilpres, Sekjen Partai Demokrat, Max Sopacua, sudah tahu soal Sarkes itu. Kita tunggu saja pasca pelantikan presiden nanti “, katanya.
Kasus Sarkes, tidak hanya menjerat gubernur Tallo, tapi juga delapan tersangka lainnya. Dua di antaranya pejabat teras NTT, yakni, Kadis Kesehatan, Dokter Stefanus Bria Seran dan anggota DPRD I NTT, dari fraksi PDIP, Ir. Karen Yani Mboeik. Keduanya sudah diperiksa, bahkan sempat ditahan di sel Mapolresta, Kupang. Tersangka lainnya adalah, Pimpro, mantan bendahara KPKN Kupang, anggota panitia proyek dan tiga staf Firma Antares, perusahaan yang mengerjakan proyek Sarkes itu.
Kini, dari sembilan tersangka itu, baru Pimpro M.Taopan diproses di pengadilan. Tapi, sampai pekan ini, sidang kasus tersebut masih berkutat pada pemeriksaan saksi. Cilakanya 7 Kepala Puskesmas NTT yang sudah dipanggil sebagai saksi, tak kunjung datang memberi keterangan di pengadilan.
Tak pelak, Ketua Majelis Hakim, Henry Silaen, pada sidang Senin (11/10) meminta Jaksa Penuntut Umum, Margaretha Evi Rahayu, SH agar memanggil paksa ke-tujuh Kepala Puskesmas tersebut. Para saksi itu akan dimintai keterangannya, apakah droping sarana kesehatan diterima utuh sesuai ketentuan proyek. Sarana kesehatan yang harus diterima para Kepala Puskesmas tersebut, masing-masing: peralatan bedah, peralatan bersalin, laboratorium dan peralatan perawatan gigi. “ Kalau dipanggil mereka tidak datang, akan dipanggil paksa karena mereka tak hormati lembaga peradilan “, tutur hakim Henry Silaen.
Proyek Sarkes Tahun 2002 senilai Rp.15 milyar itu berupa pengadaan sarana kesehatan bagi 56 Puskesmas rawat inap di NTT. Sarana kesehatan tersebut meliputi: peralatan bedah, peralatan bersalin, laboratorium dan perawatan gigi. Daftar Isian Proyek (DIP) itu diturunkan dari Departemen Kesehatan ke Dinas Kesehatan NTT, April 2002. Seterusnya, Juni 2002, DIP direvisi. Anehnya, usai revisi, proyek itu tidak secepatnya ditenderkan, tapi justru diulur-ulur. Alhasil, ketika akhir Tahun Anggaran 2002 sudah mepet, tiba-tiba Firma Antares, Jakarta ditunjuk langsung mengerjakan proyek itu, tanpa tender. Sebagai rekanan mengerjakan proyek itu, Firma Antares menggandeng CV. Wahyu Utama, milik John Tallo, putra gubernur NTT.
Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gaskelab) NTT, Marthin Tokan, proyek tersebut bermasalah, karena dikerjakan tidak sesuai Keppres Nomor: 18/Tahun 2002, khususnya Psl 9 ayat 1 huruf a, yang mengatur tentang pelaksanaan Anggaran Belanja Negara.
Dalam Keppres tersebut, ujar Marthin, proyek senilai Rp.15 milyar itu seharusnya ditender. Faktanya, proyek itu dikerjakan Firma Antares, Jakarta melalui Penunjukkan Langsung, (PL) setelah gagal melakukan Pemilihan Langsung (PML). Sistim PL dan PML itu dilakukan atas izin prinsip yang dikeluarkan gubernur NTT, Pieter Alexander Tallo,SH dengan alasan akhir Tahun Anggaran 2002, sangat mepet. Jika ditender, dikuatirkan proyek tersebut tak bisa rampung pada akhir tahun anggaran , Desember 2002.
Menurut Marthen Tokan, jika mengacu pada Keppres nomor: 18/Tahun 2002, seharusnya Firma Antares, Jakarta, tidak ditunjuk mengerjakan proyek tersebut. Karena, perusahaan itu terlambat mendaftar dan tidak mengantongi rekomendasi dari Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium DKI, Jaya. Apa lagi, Firma Antares bukanlah satu-satunya perusahaan yang memproduksi sarana kesehatan sebagaimana yang dimaksudkan dalam proyek tersebut.
Marthen juga protes keras atas sistim Penunjukkan Langsung (PL) dalam pengerjaan proyek tersebut. Karena, berdasarkan Keppres Nomor: 18/Tahun 2002, disebutkan, sistim PL bisa dilakukan, jika tender gagal, terjadi kejadian luar biasa atau karena keamanan negara tidak kondusif. “ Kenyataannya, tidak ada tender, juga tak ada kejadian luar biasa atau keamanan negara terganggu. Jadi, seharusnya proyek itu ditender terbuka “, tandasnya.
Gara-gara pengerjaan proyek itu tidak ditender, sejumlah perusahaan lokal NTT yang siap bertarung dalam tender, gigit jari. Perusahaan tersebut, CV. Husada Karya Timor, CV. Mulya Jaya Medika Farmatama dan PT. Pesero Indo Farma Global Medika Cabang Kupang. Saking kecewanya, perusahaan tersebut menggugat Pimpro Sarkes ke PUTN Cabang Kupang. Vonis hakim PTUN, akhirnya menetapkan Pimpro Sarkes harus mencabut sistim Penunjukan Langsung (PL) dan memberlakukan tender untuk mengerjakan proyek itu. Alasannya, sistim PL bertentangan dengan Keppres Nomor: 18/Tahun 2000.
Tragisnya, bagaimana mungkin bisa tender ulang ? Duit proyek sudah ludes semua. Kini, satu-satunya kunci rahasia yang bisa membuat kasus korupsi itu bisa diproses secara hukum dengan wajar adalah presiden SBY. Di tangan lulusan terbaik Akabri tahun 1973 ini, publik NTT menggantung harapan, agar izin untuk memeriksa gubernur NTT, Pieter Alexander Tallo, bisa diturunkan. Jika tidak, kasus korupsi itu hanya akan bisa mengebor fantasi publik, lalu ditenggelamkan jaman.
© Copyright 2024, All Rights Reserved