Kolonel Czi Ngadimin Darmo Sujono, Samuel Kristianto, dan Dedy Budiman Garna diadili secara bersamaan terkait korupsi dana perumahan prajurti TNI Angkatan Darat yang merugikan negara Rp100 miliar. Persidangan pertama tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (15/1) yang dipimpin majelis hakim koneksitas yang diketuai Soedarmadji dengan anggota Mayor CHK Budi Purnomo dan Wahjono.
Jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai Muhammad Hudi secara bergantian membacakan surat dakwaan primer, subsider dan lebih subsider. Perbuatan melawan hukum yang didakwakan kepada Ngadimin bersama-sama Samuel, Dedy Budiman, serta Rafael Harry Wong (belum tertangkap) dilakukan pada 28 Februari-28 November 2005.
Menurut dakwaan yang dibacakan JPU, dana sebesar Rp100 miliar yang semestinya sebagai dana pendamping perumahan prajurit TNI AD digunakan untuk keperluan lain. Dana tersebut diantaranya digunakan oleh Dedy Budiman sebesar Rp 42,8 miliar, Rafael Harry Wong sebesar US$3 juta dollar, Ngadimin, dan Samuel.
Kasus ini berawal di bulan Juli 2004 ketika Samuel, pemilik Yayasan Mahanaim bertemu dengan Wakil Komandan Pendidikan dan Latihan TNI AD Mayjen Salim Mengga. Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas soal ketiadaan penyandang dana bagi perumahan prajurit dan pegawai negeri sipil TNI AD. Samuel Kristianto menyarankan agar Salim Mengga bertemu dengan Dedy Budiman yang berpengalaman mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Atas saran Samuel itu, Salim Mengga yang didampingi Samuel bertemu dengan Dedy Budiman. Dalam pertemuan tersebut, Samuel menyatakan sanggup mendatangkan bantuan dari luar negeri. Namun mekanisme pencairan bantuan tersebut dengan cara menempatkan deposito di bank minimal Rp100 miliar sebagai dana pendamping.
Tergiur oleh janji tersebut, entah bagaimana caranya, tiba-tiba dana Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BPTWP) TNI AD sebesar Rp 157 miliar berupa deposito di BRI Cabang Khusus Sudirman dicairkan. Sebanyak Rp 100 miliar di antaranya ditempatkan di dalam deposito Bank Mandiri Cabang Panglima Polim atas nama Ngadimin dan Samuel.
Selanjutnya bisa ditebak, deposito Rp100 miliar sebagai dana pendamping itu malah digunakan untuk keperluan lain. Penggunaan dana itu diantaranya membeli surat berharga oil production bond milik Dedy Budiman dan dikirimkan kepada Rafael Harry Wong yang bersedia memberikan bantuan dana.
Diakhir persidangan, majelis hakim menetapkan Kolonel Ngadimin ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung sejak 15 Januari 2007. Sebelumnya Ngadimin pernah ditahan sejak 30 November 2005 hingga 17 Juni 2006. Senin sekitar pukul 14.00, Ngadimin resmi masuk rutan Kejagung.
Menyikapi penetapan majelis hakim, pengacara Ngadimin, Mayor Rokhmat, menyatakan penetapan tersebut memang mesti dilakukan, namun pihaknya akan mengajukan penangguhan penahanan. "Namun akan dipelajari untuk mengajukan penangguhan penahanan," kata Rokhmat singkat. Sedangkan mengenai terdakwa Rafael Wong yang hingga kini belum tertangkap, pihak JPU menyatakan sudah meminta bantuan polisi Hongkong. "Sudah minta bantuan kepada polisi di Hongkong, tetapi belum berhasil," kata Muhammad Hudi selaku Ketua JPU.
© Copyright 2024, All Rights Reserved