Tak banyak orang tahu cerita ini. Waktu itu, pertengahan Juli 2003. Usai mengikuti rapat persiapan penerbitan majalah Pantau baru, saya menghabiskan sisa waktu sore hari bersama Andreas Harsono di sebuah kafe Mal Pondok Indah. Ini pertemuan pertama kami, sejak Pantau yang dipimpinnya disudahi hidupnya oleh Goenawan Mohamad (GM), selaku Direktur Utama Institut Studi Arus Informasi (ISAI), pada Maret 2003.
Saya menanyakan ihwal penghentian penerbitan Pantau yang diwarnai isu memburuknya hubungan antara Harsono dan atasannya itu. Seperti biasa, dia terkesan hati-hati menjawab pertanyaan. “Sebagai teman, saya tetap baik dengan Pak Goen. Bagaimana pun, dia guru sekaligus ayah saya,” kata Harsono.
Dia mengenang, bagaimana GM punya peranan besar, baik dalam kehidupan maupun karir kewartawanannya. Mereka punya “guru besar” yang sama, Bill Kovach, saat memperoleh beasiswa Nieman di Universitas Harvard, AS. Bedanya, GM berangkat ke sana tahun 1989, Harsono 1999. Pendek kata, hubungan keduanya begitu dekat, sedekat gigi dan bibir. Meski begitu, “Dalam hal jurnalisme, kami berbeda,” ujar Harsono tersenyum kecut.
Beberapa pekan sebelum Pantau di bawah ISAI tamat atau sesaat setelah majalah Tempo digugat oleh pengusaha Tomy Winata (TW), GM mengajak Harsono ikut dalam pertemuan sejumlah redaktur senior Tempo. Mereka membicarakan peluang-tantangan menghadapi TW di meja hijau. Kelihatannya, semua pihak dalam pertemuan sepakat, kasus ini merupakan “perang” melawan ancaman kebebasan pers. Sampai kemudian Harsono angkat bicara.
Dari aspek jurnalisme Harsono menilai, dalam kasus pemberitaan Ada Tomy di Tenabang? Tempo melakukan kesalahan. Terutama menyangkut sumber anonim yang diragukan kredibilitasnya. Harsono melukiskan, berita besar yang ditulis wartawan Tempo tidak menjalani verifikasi (proses pembuktian) yang memadai. Atas dasar itu, Harsono menyarankan agar Tempo mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada TW. “Menurut saya, mengakui salah juga bagian dari jurnalisme,” cetus Harsono.
Braaak! Sebuah gebrakan meja menghentikan Harsono bicara. Arahnya dari tempat GM duduk. GM lantas berdiri. Seraya menuding, dengan suara bergetar dia berkata, “You choose your way, I choose my may!”
Setahun setelah peristiwa yang tak dilupakan Harsono itu, dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis GM untuk meminta maaf kepada TW. Bukan dalam kasus majalah Tempo, tapi kesrimpet oleh pernyataan GM sendiri yang dimuat di harian Koran Tempo edisi 12 dan 13 Maret 2003. Dalam edisi tersebut, GM menyebut, “Jangan sampai negara ini jatuh ke tangan preman, dan jangan sampai negara ini jatuh ke tangan Tomy Winata.” Majelis hakim memerintahkan GM untuk memuat pernyataan maafnya di halaman depan Koran Tempo, berukuran empat kolom x 15 cm, selama dua hari berturut-turut.
Dibandingkan dengan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan atas kasus pemberitaan berjudul Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi (Koran Tempo, 6 Februari 2003), putusan kali ini sebetulnya sangat proporsional. Selain menolak gugatan materiil dan imateriil dari pihak TW – masing-masing Rp 1 miliar dan Rp 20 miliar – pihak tergugat cukup memuat pernyataan maafnya di harian Koran Tempo. Cukup dua hari saja.
Bandingkan dengan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan akhir Januari silam. Selain Koran Tempo bersama Bambang Harymurti serta Dedi Kurniawan menanggung secara renteng ganti rugi 1 juta dolar AS, mereka pun diperintahkan untuk memuat pernyataan maaf selama tiga hari di 14 media cetak (delapan koran, enam majalah) dan 12 media elektronik dalam/luar negeri (CNN, CNBC, BBC) pada jam tayang utama (prime time). Putusan ini memang menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Bukan karena Koran Tempo diputus bersalah, tapi lebih pada proporsi antara delik perkara dan ancaman hukuman.
Menyusul kasus tersebut, kasus terakhir juga mengalami banding. Lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, GM tak ingin meminta maaf kepada TW sebagaimana perintah majelis hakim. Di mata Lubis, kliennya tidak melanggar hak-hak subyektif TW. Padahal, jika putusan itu dipatuhi, tak sepeser pun GM mengeluarkan uang. Ternyata bukan uang masalahnya.
Reaksi terhadap putusan majelis hakim (yang proporsional) berupa banding, ini memperlihatkan dua hal. Pertama, GM merasa tak bersalah. Implisit, pernyataan dia bahwa “TW seorang preman,” diyakini benar. Atau, boleh jadi GM merasa diperlakukan tak adil oleh putusan itu, mengingat bukan dia yang pertama atau satu-satunya yang mengatakan “TW seorang preman” alias rahasia umum. Bedanya, dia berani mengatakannya di media massa.
Kedua, ini pertarungan harga diri GM. Wartawan sekaligus sastrawan macam GM telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bagi orang-orang tertindas dan teraniaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan masyarakat – sehingga jika ada pihak yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwanya. Tapi, apakah seseorang akan kehilangan harga dirinya hanya karena minta maaf? Dalam dimensi spiritual, bukankah permintaan maaf mencerminkan kerendahan hati seseorang?
Lagi-lagi saya ingat kembali cerita Harsono, seperti yang dibedahkannya di Pantau edisi Januari 2004. Bukan tentang GM, tapi tentang kerendahan hati Kovach. Cerita bermula, ketika Kovach menerima pertanyaan dari seorang mahasiswi Universitas Sumatra Utara, awal Desember 2003, saat mengawali lawatannya di Indonesia. Pertanyaannya, “Apa kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Bill Kovach?” Sang mahasiswi merasa, wartawan sekaliber Kovach pasti pernah berbuat salah.
Kovach menjawab, setiap wartawan bisa saja salah, termasuk dia. Salah satu kesalahan yang mengusiknya belakangan ini adalah eseinya tentang Charles Weltner dalam buku Profiles in Courage for Our Time, suntingan Caroline Kennedy, putri mendiang John F. Kennedy. Kovach menulis, bagaimana Weltner mundur dari Kongres pada 1966 karena Lester Maddox diajukan partainya sebagai kandidat gubernur Georgia. Maddox seorang pendukung segregasi atau kaum rasialis. Weltner menentang keputusan partainya dengan mundur, mengambil risiko dikucilkan, karena dia percaya bahwa tiap warga negara punya hak sama. Tak peduli rasnya.
Sejak itu, Weltner tidak saja kehilangan karir politik, tapi juga kacau kehidupan pribadinya. Dia bercerai dari istrinya, suka mabuk, naik sepeda motor besar, dan berlagak anak muda. Kovach mengungkapkan, pada periode ini Weltner menikahi istri keduanya. Tapi, pernikahan itu berakhir dengan perceraian. Belakangan, Weltner menikah dengan istri ketiga. Dia sempat jadi hakim agung sebelum meninggal dunia pada 1992.
Setelah buku terbit, Kovach menerima sebuah paket dari mantan istri kedua Weltner. Isinya berupa fotokopi surat-surat, dokumen, foto, dan sebuah surat panjang. Dalam surat, si mantan istri menyatakan, Kovach keliru dan telah menghancurkan hidupnya hanya dengan tiga kalimat. Kovach memang tak menyebut nama, tapi banyak orang tahu siapa mantan istri kedua Charles Weltner. Mantan istri tersebut mengatakan, masa dua tahun itu justru merupakan periode hidupnya yang paling membahagiakan. Mereka hidup bahagia. Bahkan sesudah cerai pun, mereka sering berkomunikasi.
Kovach mempelajari kiriman itu. Dia menyesal karena merasa tak cukup melakukan reportase untuk mengetahui periode dua tahun yang diabaikannya. Sebelum bertolak ke Indonesia, Kovach menelepon sang mantan istri Weltner. Dia berjanji akan mewawancarainya dan menulis sebuah esei untuk memperbaiki kesalahan yang ada.
Saya mengerti maksud cerita Harsono tentang Kovach. Bahwa setiap wartawan, tak terkecuali GM, bisa berbuat salah. Yang membedakannya adalah tidak setiap wartawan mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Tidak setiap wartawan punya sikap rendah hati dan menyediakan tempat bagi sisi kebenaran yang lain.
Dalam acara santap siang bersama Kovach di Jakarta, saya mengamat-amati penulis buku The Elements of Journalism itu dari dekat. Dalam hal mengemukakan pandangannya, Kovach memang terlatih cermat memilih kalimat ucapannya, secermat pilihan kalimat dalam buku-bukunya. Dia juga punya telinga yang lebar untuk mendengar orang lain. Ini sungguh kontras dengan karakter wartawan senior kita umumnya yang lasak, grusak-grusuk, berlagak seniman eksentrik, tapi ngéyél.
Saya tak pernah bermimpi Indonesia punya wartawan yang telah mengalami pencerahan macam Kovach. Saya hanya berharap, wartawan senior Indonesia seperti GM seyogianya mulai mempersiapkan warisan kebajikan laku dan moral untuk penerusnya, termasuk saya. Tak usah berupa laku heroik melawan kezaliman yang sering kita baca di komik-komik epik. Cukup, untuk kali ini saja, Goenawan Mohamad mau mengakui kesalahannya. Karena mengaku salah, tidak berarti kalah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved