Di tengah semakin kuatnya arus kontraamandemen Undang-Undang Dasar 1945, Rapat Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Rapim MPR) memutuskan menggelar amandemen kelima UUD 45. Rapim MPR sepakat menindaklanjuti usul dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) mengenai penyelenggaraan Sidang MPR untuk mengamendemen UUD 1945 yang khusus membahas penguatan tugas dan kewenangan DPD. Sidang itu dilaksanakan paling lambat 90 hari setelah diputuskan Senin (14/5).
"Pengusul amandemen telah diverifikasi. Dari rapat pimpinan, kami tetapkan 234 dukungan ini sah. Baik nama maupun tanda tangannya otentik. Mereka juga tidak menarik dukungan hingga saat ini," kata Ketua MPR Hidayat Nurwahid seusai rapat pimpinan MPR kemarin.
Jumlah 234 itu melebihi sepertiga dari total anggota MPR yang berjumlah 678 sebagai syarat minimal mengusulkan amandemen. Motor utama pengusul amandemen adalah anggota DPD. Mereka memperjuangkan pemberdayaan DPD agar mendapat hak legislasi dan hak persetujuan APBN.
Dengan keputusan Rapim tersebut, maka selanjutnya pimpinan MPR akan melakukan konsultasi dengan pimpinan fraksi-fraksi di MPR.
Usulan amandemen ini sempat menjadi pro dan kontra yang berkepanjangan. PDIP, Partai Golkar, PPP, dan Partai Demokrat menganggap saat ini belum saatnya amandemen. Selain itu, ikatan alumni Lemhanas menginginkan setelah 2009. Sedangkan sejumlah pensiunan jenderal langsung menolak.
Menurut Hidayat, dirinya tidak bisa menolak agenda amandemen karena jumlah pengusul mencapai syarat. Rapim MPR juga memutuskan segera merealisasikan rapat gabungan dari fraksi-fraksi di MPR dan kelompok anggota DPD di MPR sebagai tindak lanjut agenda amandemen itu. Rencananya, rapat gabungan dilakukan pada Selasa, 22 Mei mendatang. "Ini perintah konstitusi. Kami hanya menjalankannya," ujarnya.
Menurut Hidayat, rapat gabungan itu hanya ditujukan untuk menjelaskan agenda amandemen yang tengah bergulir. "Jelas sekali domain proses perubahan ini ada di MPR, sehingga kami sangat berkepentingan untuk mendapatkan kondisi yang kondusif," katanya.
Hidayat menambahkan, rapat gabungan bukan forum pengambilan keputusan, sehingga tidak mungkin membatalkan usul amandemen. "Juga tidak ada tendensi untuk memaksa fraksi-fraksi setuju," ujarnya. Kalaupun ada keinginan mencabut dukungan, imbuh dia, prosesnya harus dilakukan di luar mekanisme rapat gabungan.
Satu minggu setelah rapat gabungan, lanjut Hidayat, pimpinan MPR juga mengagendakan rapat konsultasi dengan pimpinan lembaga-lembaga negara. Antara lain, presiden, wakil presiden, ketua DPR, ketua DPD, ketua Mahkamah Agung (MA), dan ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
"Setelah itu, kami akan kembali menggelar rapim MPR untuk membicarakan bagaimana mengelola usul ini dengan memperhatikan pertimbangan fraksi-fraksi dan lembaga-lembaga negara tadi," ujarnya.
Hidayat menegaskan, sesuai tata tertib MPR, pimpinan MPR berkewajiban merealisasikan sidang MPR terkait amandemen paling lama dalam 90 hari sejak usul diterima. Usul itu diterima pimpinan MPR pada 9 Mei. "Tapi, kami tentu tidak harus menunggu sampai 90 hari. Semua bergantung rapat gabungan dan rapat konsultasi," katanya.
Sekretaris Kelompok DPD di MPR Ichsan Loulembah mengatakan, tembusnya usul amandemen merupakan momentum besar bagi proses penguatan DPD. Terkait aksi penarikan dukungan dari FPD, dia berharap langkah itu tidak terjadi pada fraksi-fraksi lain di MPR. Dia mengakui sejumlah dukungan dari anggota fraksi, seperti PPP, PAN, dan Golkar merupakan sikap pribadi yang mencerminkan hak konstitusional setiap anggota MPR. "Saya harap penggunaan hak itu tidak dihalang-halangi," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved