Aturan yang diberlakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tentang program dana jaminan hari tua (JHT), menuai kontroversi di masyarakat. Pemerintah kini tengah menyusun draf revisi menyusul penolakan dari berbagai kalangan. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta, aturan JHT tersebut tidak mengingkari amanah yang termaktub dalam Undang-Undang BPJS.
Anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati mengatakan, dengan resmi beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015, sehrusnya menjadi harapan baru bagi para tenaga kerja di Indonesia untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan, jangan berdampakl sebaliknya, menyusahkan para pekerja.
"Jujur saja, saya sangat terkejut sekali dengan adanya perubahan aturan mengenai pencairan dana JHT para pekerja. Karena peraturan sebelumnya, saat masih bernama Jamsostek, dana JHT bisa dicairkan setelah 5 tahun, tapi sekarang peraturan itu malah berubah dengan pencairan JHT menjadi 10 tahun," ujar dia, kepada politikindonesia.com di Gedung DPR Jakarta, Senin (27/07).
Politisi perempuan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, menambahkan, aturan baru itu sangat merugikan pekerja. Dalam peraturan baru itu, dana JHT bisa diambil seluruhnya setelah pekerja berusia 56 tahun. Sementara untuk persiapan hari tua, dana yang bisa diambil hanya 10 persen dari saldo. Dan, untuk pembiayaan perumahan, saldo yang bisa diambil hanya sebesar 30 persen.
"Terus terang, aturan ini mengingkari amanah UU BPJS Ketenagakerjaan. Saya sebagai salah satu anggota pansusnya sangat kecewa dengan perubahan aturan tersebut. Sebab, di UU BPJS itu peserta lama ketika bergabung dalam BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh terkurangi benefitnya," ujar dia.
Kepada Elva Setyaningrum, lulusan Pascasarjana Psikologi Universitas Indonesia meminta pemerintah segera merampungkan revisi atas aturan yang ditentang banyak kalangan itu. Sebagai anggota Panitia Khusus (Pansus) yang ikut menyusun UU BPJS, perempuan kelahiran Jakarta, 6 Maret 1961 ini mengatakan, program JHT tersebut tujuan utamanya untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi pekerja. Berikut petikan wawancaranya:
Anda menganggap aturan JHT melanggar amanat UU BPJS, apa alasannya?
Dalam UU BPJS, peserta lama (Jamsostek) yang bergabung ke BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh terkurangi benefitnya. Sementara peraturan yang lama ketika pekerja masih di Jamsostek sebelum beralih menjadi BJPS Ketenagakerjaan, dana itu dapat diambil dalam 5 tahun.
Peraturan baru yang membatasi dana itu baru boleh diambil seluruhnya setelah pekerja berusia 56 tahun, jelas merugikan pekerja. Juga batasan bahwa dana itu bisa cair 10 persen setelah 10 tahun dan 30 persen untuk perumahan.
Itu bertentangan dengan semangat didirikannya BPJS. Negara membuat BPJS agar masa depan pekerja bisa lebih baik. Jadi sebaiknya sebelum memberlakukan peraturan yang baru, setidaknya ada masa transisi untuk mendengar masukan dari semua stakeholder. Karena JHT berbeda dengan jaminan pensiun. Kalau jaminan pensiun, setiap bulannya pekerja bisa memperoleh jaminan pensiun. Sedangkan, JHT merupakan tabungan yang diambil ketika para pekerja telah berhenti bekerja.
Apa manfaat yang didapat pekerja dari program JHT?
Program Jaminan Hari Tua merupakan pemupukan dana jangka panjang untuk memberikan kepastian adanya dana pada saat tenaga kerja tidak produktif lagi karena meninggal, cacat atau memasuki usia tua.
Adapun manfaat JHT yang dibayarkan sebesar keseluruhan iuran yang telah disetor ditambah dengan hasil pengembangannya. Manfaat dibayarkan, apabila tenaga kerja mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum berusia 55 tahun dan telah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu pembayaran selama 1 bulan pasca PHK. Selain itu, jika pekerja meninggalkan wilayah Indonesia untuk selama-lamanya atau pindah pekerjaan menjadi Pegawai Negeri Sipil/Anggota POLRI/Anggota TNI.
Apa penting BPJS Ketenagakerjaan ini bagi pekerja?
Sebenarnya dalam pengopersiannya ada 4 program yang diyakini bisa memberikan keuntungan dan masa depan yang lebih baik bagi para pekerja di Indonesia. Keempat program tersebut adalah JHT, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pensiun. Sementara itu, program Jaminan Pensiun sempat mengalami tarik ulur dalam hal menentukan persentase besaran iuran antara pihak pekerja dan pengusaha.
Lalu, berapa besaran persentase iurannya?
Bagi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) angka 8 persen untuk besaran iuran Jaminan Pensiun adalah yang paling memadai. Dengan rincian, pihak pengusaha membayar sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen dari besarnya gaji. Sedangkan pihak pengusaha dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta persentase 1,5 persen. Akhirnya per tanggal 1 Juli 2015 persentase untuk jaminan pensiun diputuskan 3 persen dan secara bertahap akan menjadi 8 persen pada tahun 2030.
Tanggapan Anda terhadap keputusan besaran iuran tersebut?
Saya tetap mengapresiasi bahwa plafon antara batas atas iuran tidak lagi menggunakan pengalian penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tetapi menggunakan angka pasti yakni Rp7 juta. Oleh karena itu, saya berharap pemerintah juga akan melakukan evaluasi terhadap angka tetap Rp7 juta itu setiap tahunnya harus diesuaikan dengan kenaikkan gaji para pekerja setiap tahun. Jadi, sama seperti rencana pemerintah melakukan evaluasi jumlah persentase iuran jaminan pensiun setiap tahunnya. Agar nilai pokok pensiun yang terkumpul bisa meningkat dan besarnya uang pensiun yang akan diterima oleh pekerja pada waktunya nanti juga bertambaha besar.
© Copyright 2024, All Rights Reserved