Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan untuk mengendapkan keputusan Pemerintah soal penghentian proses peradilan mantan Presiden Soeharto. Penegendapan ini berlaku sampai situasinya dinilai tepat. SBY menilai, pengambilan keputusan mengingat adanya perkembangan yang menjurus kepada perpecahan bangsa menyusul kebijakan tadi, yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, dan harus dihindari.
“Karena itu sebagai Kepala Negara, saya melakukan penelaahan kembali, berangkat dari hati dan pikiran saya yang jernih. Meskipun apa yang kita lakukan ini memiliki tujuan yang baik, konstruktif, untuk kearifan sebuah bangsa, tetapi mengingat situasi ini bisa memunculkan perpecahan," kata Presiden Susilo, ketika menggelar konferensi pers di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (12/5) pagi, sebelum bertolak ke Denpasar, Bali untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-8.
Presiden menegaskan, bahwa rapat konsultasi pemerintah dengan pimpinan lembaga tinggi negara di Kantor Presiden, Rabu (10/5) malam, bukanlah merupakan forum untuk mengambil keputusan mengenai sikap pemerintah terhadap Presiden Soeharto dan juga mantan Presiden Soekarno. Menurut SBY, forum tersebut merupakan forum konsultasi dan komunikasi. Dalam forum terebut hanya sekadar tukar pikiran, dan sepakat untuk mencari konstruksi penyelesaian masalah yang tepat, serta menemukan solusi yang tepat, baik untuk penyesaiaan masalah Bung Karno maupun Soeharto. Utamanya, dalam bingkai sejarah Bangsa Indonesia.
"Dalam perkembangannya, menyusul satu niat untuk mencari solusi yang konstrukstif dari kedua pemimpin kita itu. Sementara di kalangan masyarakat luas muncul, gelombang pro dan kontrak yang saya amati tiap hari justru berkembang, makin mengemuka, makin tinggi gelombang pro kontra ini, dan ini bisa justru memunculkan perpecahan," lanjut presiden lagi.
Dengan pengendapan keputusan Pemerintah mengenai proses hukum Soeharto, Presiden menghimbau kepada masyarakat untuk tenang dan menahan diri. ”Semua pihak dapat kembali memikirkan penyelesaian yang adil, bijaksana dan tepat terhadap masalah ini, karena permasalahan Soeharto, bukan semata-mata permasalahan pemerintah semata,” anjurnya.
Menurut Presiden, hal ini penting, tujuannya mulia dan baik untuk meletakkan pemimpin-pemimpin bangsa pada posisi yang tepat dalam perjalanan sejarah bangsa, serta menjaga kesatuan bangsa. ”Maka saya berpendapat kita tidak perlu melakukan, apalagi kita lakukan secara grasa-grusu," kata Presiden.
Presiden berharap, benih-benih perpecahan yang muncul setelah adanya keputusan pemerintah beberapa hari lalu, dapat hilang dengan pengendapan ini, dan kontroversi maupun silang pendapat, serta perpecahan dapat dicegah. ”Tidak ada untungnya sama sekali bagi Bangsa Indonesia, karena bukan itu yang kita tuju," tandas SBY.
Sebelumnya, Kamis (11/5), Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan sikap pemerintah untuk menghentikan proses peradilan Soeharto. Yusril mengaku sudah menyerahkan dokumen dan bahan yang dibutuhkan untuk melengkapi pengambilan keputusan Presiden Yudhoyono.
Yusril memastikan proses peradilan terhadap Soeharto sudah dihentikan lewat surat ketetapan penghentian penuntutan yang dibuat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Mei 2006. "Presiden sudah menerima surat ketetapan penghentian penuntutan itu serta pencabutan pencekalan Soeharto dari Jaksa Agung," ujarnya di Istana Merdeka, Kamis malam,
Surat penghentian penuntutan itu didasarkan pada Pasal 140 KUHAP yang menyatakan, penuntut umum mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan jika tidak terdapat cukup bukti atau perkara ditutup demi hukum. "Jadi ini bukan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), tapi penghentian penuntutan," ujar Yusril.
Menurut Yusril, dokumen yang diserahkan kepada Presiden Yudhoyono, antara lain, medical record kesehatan Soeharto dan ketetapan MPR terkait dengan peradilan Soeharto. Yusril juga menyerahkan video compact disc berisi permintaan maaf Soeharto kepada rakyat Indonesia, ketika mengundurkan diri sebagai Presiden Mei 1998, termasuk tulisan tangan Soeharto saat itu.
Yusril juga menyerahkan rancangan keputusan presiden yang arahnya pemberian rehabilitasi kepada Soeharto maupun mantan Presiden Soekarno. "Itu baru rancangan. Tapi nanti Presiden yang mengambil keputusan," ujarnya.
Soeharto Berterimakasih
Siang harinya, seusai membesuk Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Yusril mengaku telah menyampaikan persiapan keputusan pemerintah itu kepada Soeharto sendiri. "Saya menyampaikan kepada Pak Harto dalam beberapa kalimat, menjelaskan apa yang dipersiapkan pemerintah hari ini. Beliau mengatakan, sampaikan terima kasih kepada SBY," tutur Yusril seraya menambahkan, keluarga Soeharto menyambut baik kebijakan pemerintah itu.
Sedangkan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, saat dicegat wartawan di Kantor Presiden, Kamis sore, menegaskan, Presiden masih menunggu kelengkapan dokumen dan bahan yang terkait aspek hukum dan bagaimana sikap presiden sebelumnya terhadap mantan Presiden Soeharto. Bahan itu akan ditelaah dulu sebelum dikeluarkannya kebijakan yang komprehensif menyangkut Soeharto dan nantinya juga almarhum Presiden Soekarno.
Pencabutan Pencegahan
Pada hari yang sama, Kamis (11/5) sore, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh maupun Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji, tak menyinggung soal surat ketetapan penghentian penuntutan Soeharto dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu, ketika ditemui wartawan di Gedung Bundar, Jakarta.
Hendarman hanya menyatakan, Kejaksaan Agung mencabut status pencegahan ke luar negeri terhadap Soeharto. "Namun, keputusan hukum atas mantan Presiden Soeharto, sesuai pesan Pak Jaksa Agung, akan ditentukan kemudian," kata Hendarman. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh justru memberi komentar secara tak signifikan. Ia hanya mengatakan, bahwa dari kajian hasil pemeriksaan tim dokter tahun 2002 disebutkan Soeharto sulit dipulihkan.
Reaksi
Sebelumnya bermunculan reaksi dari berbagai pihak. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyatakan sudah menutup buku atas kesalahan masa lalu Soeharto. "Sikap PDI-P dan Ketua Umum Megawati tidak berubah. Kami sudah menutup buku. Kami tidak ingin membalas dendam dan membandingkannya dengan perilaku Soeharto terhadap Bung Karno," ujar Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Pramono Anung.
Sementara Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyangkal soal adanya keputusan pemberhentian proses peradilan Soeharto. Pertemuan Presiden Yudhoyono dengan pimpinan lembaga negara, Rabu malam, hanya bersifat konsultasi dan tidak menghasilkan keputusan apa pun. "Presiden menyampaikan forum itu bukan untuk mengambil keputusan, tetapi konsultasi," kata Hidayat.
Sedangkan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar yang bersama jajaran DPP PKB bertemu dengan Presiden Yudhoyono, Kamis malam, menyatakan, Presiden cuma menyatakan menghormati jasa-jasa Soeharto. Pihaknya sedang mempelajari keputusan tepat bagi Soeharto dan Soekarno. Namun, pemerintah meminta semua yayasan Soeharto dikembalikan ke negara.
Sikap tak melunak masih ditunjukan oleh Mantan Ketua MPR Amien Rais. Mantan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) dan Pimpinan Muhammadiyah ini menyayangkan jika proses peradilan Soeharto dihentikan. "Soeharto sebaiknya tetap diproses secara hukum. Setelah hartanya yang dikumpulkan secara tidak sah disita negara, baru kemudian Soeharto bisa diampuni,” ujar Amien. Kalau Soeharto diampuni tanpa proses hukum, menurut Amien, semua dirugikan dan bukan preseden baik. ”Kapan-kapan presiden mendatang bisa melakukan penyelewengan lagi karena toh bakal diampuni," imbuhnya Amien di Palembang, Kamis.
NU Maafkan Soeharto
Hal ini berbeda dengan sikap Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi. Hasyim justru mengajak bangsa Indonesia untuk memaafkan mantan Presiden Soeharto, meski hal itu tidak menghilangkan kesalahan yang pernah dibuat mantan penguasa Orde Baru tersebut. “Dia (Soeharto) memang salah, sehingga perlu dimaafkan bangsa ini," kata Hasyim, saat akan menerima kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (11/9).
Walau demikian, menurut Hasyim, mantan pemimpin bangsa Indonesia yang pernah berkuasa selama 32 tahun itu, memiliki jasa besar terhadap bangsa ini, dan hal tersebut tidak boleh dilupakan. Sebelumnya orang nomor satu di PB NU ini pernah menyatakan agar kasus pengadilan Soeharto dihentikan saja dengan alasan kemanusiaan.
Hasyim juga merasa prihatin melihat kenyataan pemimpin bangsa, dimana setiap lengser dari jabatannya selalu dihujat oleh rakyat. Padahal semua pemimpin tersebut telah berbuat sesuatu bagi bangsanya. Karena itu, ia juga meminta kepada masyarakat mau memaafkan para mantan presiden lainnya, mulai dari Soekarno hingga mantan Presiden Megawati.
Oleh karena itu, PBNU berharap pemerintah sebagai wakil bangsa, dapat berbuat sesuatu sehingga hal serupa tidak berulang di kemudian hari. "Kalau terus begini, maka setiap pemimpin hanya menunggu waktu untuk dihujat," ujar Hasyim, yang pernah menjadi kandidat wakil presiden pada Pemilu 2004.
© Copyright 2024, All Rights Reserved