Dengan diberlakukannya masyarakat ekonomi Asean (MEA) pada awal tahun depan, Indonesia mulai memasuki era liberalisasi. Tantangan kerja semakin berat. Meski begitu, kesempatan untuk tenaga terlatih dan terdidik akan terbentang lebih luas, Secara bertahap, jumlah sarjana semakin meningkat dan keistimewaannya semakin berkurang.
"Pada masa lalu, seseorang yang menyandang sarjana merupakan orang istimewa, dengan status sosial yang tinggi dan sangat mudah mendapat peran di masyarakat. Namun saat ini, ada belasan juta penduduk yang bergelar sarjana belum tentu memiliki kualitas dan produktifitas yang tinggi," kata Edy Suandi Hamid, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) kepada politikindonesia.com usai di Jakarta, Rabu (23/12).
Dijelaskan, yang saat ini terjadi jumlah lapangan kerja semakin terbatas dan persaingan semakin ketat, tak hanya dari domestik tapi juga luar negeri. Oleh karena itu, para lulusan perguruan tinggi juga harus terus belajar untuk meningkatkan daya saing. Sehingga mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Apalagi, Indonesia semakin membuka diri dengan mengintegrasikan perekonomian secara bertahap kepada dunia internasional.
"Seolah kita menjadi tanpa batas dengan lintas barang dan jasa yang terbuka lebar. Dengan mudah barang-barang masuk melintasi batas-batasan negara. Hal itu karena globalisasi telah mengantarkan kita pada tahap persaingan yang tidak lagi mengenal batas," ujarnya.
Menurutnya, pelaksanaan MEA 2015 memberikan konsekuensi pada Indonesia terhadap tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam. Terutama, dalam perdagangan dalam barang dan jasa di kawasan Asean. Adapun beberapa jasa yang ikut berkompetisi dalam pasar tunggal MEA adalah jasa bidang pendidikan dan tenaga kerja yang melibatkan tenaga kerja dalam dan luar negeri.
"Hal itu tentunya menjadi kekhawatiran dan tantangan bersama. Karena tenaga kerja kita yang lahir dari perguruan masih memprihatinkan. Terbukti dari data Badan Pusat Stastistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2015 mencapai 6,18 persen dari total 122,4 juta orang angkatan kerja. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2015 sebesar 5,81 persen dan Agustus 2014 hanya 5,94 persen," paparnya.
Dikatakan, angka tersebut tidak saja disumbangkan dari yang berpendidikan rendah. Karena jumlah TPT yang lulus dari perguruan tinggi masih banyak dari jumlah angkatan kerja di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa penyerapan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi lamban. Sehingga menyuburkan pengangguran berlabel sarjana.
"Banyaknya pengangguran tersebut bisa jadi karena minimnya soft skills yang dimilili oleh calon tenaga kerja. Sehingga alokasi lapangan pekerjaan tidak sepenuhnya terpenuhi. Selain itu, masih melekatnya mentalitas untuk mencari pekerjaan daripada menciptakan lapangan pekerjaan sendiri," imbuhnya.
Dalam menghadapi berbagai hal tersebut, lanjutnya, lulusan perguruan tinggi dituntut untuk memiliki keunggulan agar mampu bersaing dan terserap dalam dunia kerja. Oleh sebab itu, ke depannya para alumni perguruan tinggi tidak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah dalam mencari pekerjaan. Sarjana juga dituntut memiliki kompetensi dan keterampilan kerja yang baik. Sehingga dapat terserap pasar kerja.
"Apalagi, Indonesia sebagai negara favorit bagi ekspatriat untuk mencari kerja. Maka tak heran, tenaga kerja asing di Indonesia jumlahnya cukup banyak. Mereka menduduki level profesional, konsultan, manager hingga komisaris. Kondisi inilah yang menggambarkan peta persaingan kerja telah terjadi. Persaingan pun semakin ketat" tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved