Pernyataan Faisal Basri yang menuding mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sebagai biang dari kekacauan industri bauksit nasional mendapat kecaman dari sejumlah politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Faisal dituding sebagai bagian dari kelompok pendukung ekspor bahan mineral mentah.
“Faisal Basri memang memihak ekspor bahan mentah," ujar politisi PAN, Tjatur Sapto Edy, kepada pers, Selasa (25/05) menanggapi pernyataan Faisal Basri dalam sebuah seminar di Jakarta, kemarin.
Faisal menyebut bijakan Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melarang ekspor bauksit dan mewajibkan pembangunan smelter dinilai kontraproduktif dengan semangat hilirisasi industri yang mengedepankan partisipasi industri nasional.
Ia menyebut kebijakan Hatta Rajasa yang menjadi Menko Perekonomian saat itu salah, tapi tidak dikoreksi oleh pemerintah. Ia menilai dengan dilarangnya ekspor bauksit dan diwajibkannya pembangunan smelter secara tak langsung mengundang asing untuk masuk menguasai.
Menanggapi tudingan Faisal tersebut, Tjatur mengatakan, pelarangan ekspor bahan mentah adalah amanat undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Larangan itu diikuti dengan kewajiban bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Kontrak Karya Pertambangan untuk meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam pasal 102, 103 dan 170 UU tersebut.
Dan, sudah menjadi kewajiban bagi Hatta Rajasa selaku Menko pada waktu itu untuk memastikan UU ini berlaku. Bila UU ini tidak berjalan, justru pemerintah melanggar UU.
“Semangat UU ini sungguh mulia, dan saya tahu persis Pak Hatta selaku Menko Perekonomian mendapat tantangan yang sangat berat dalam mengimplementasikan UU ini, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan muncul julukan Hattanomics yang diasosiakan dengan proteksionis dan terlalu nasionalistik," ujar Tjatur.
Tjatur menambahkan, bagi para pengejar rente dan kaum Neolib penghamba Washinton Consesus, memang kebijakan ini tidak populer. Ia mengatakan, dengan kebijakan ini, bangsa Indonesia akan berhenti menjadi kuli di negeri sendiri.
Dengan kebijakan ini juga, para insinyur akan lebih mumpuni mengolah kekayaan alam sendiri, dan negara menjadi tahu seluruh kandungan mineral yang ditambang oleh pemegang IUP atau KKP, sumber daya lokal akan berkembang, pendidikan pertambangan mendapatkan tempatnya dan lapangan kerja akan terbuka lebar.
Dengan kebijakan ini juga, sambung Tjatur, bangsa Indonesia mendapatkan nilai tambah yang sangat besar dan menjadi tuan di negeri sendiri. “Dan mungkin karena kebijakan ini juga, Pasangan Prabowo-Hatta (saat pilpres lalu) mendapat tantangan yang sangat keras dari para pemburu rente dan kaum Neolib,” ujar dia.
Tjatur mengatakan, kebijakan pelarangan mineral mentah adalah kebijakan besar. “Sama sekali tidak ada hubungan dengan urusan ecek-ecek 1-2 perusahaan sebagaimana fitnah Bang Faisal Basri. Saya gagal paham, kok Bang FB yg dulu begitu intelektual bisa menjadi seperti ini,” tandas Tjatur.
© Copyright 2024, All Rights Reserved