{Menjelang berakhirnya tahun 2006, yang juga berarti dua tahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, wacana publik, secara terbatas, dihiasi oleh perdebatan soal kehadiran Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R). Ada apa?}
Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Jumat (3/10) lalu, ternyata belum juga meredakan ketegangan politik yang terjadi karena pembentukan UKP3R tersebut.
Malahan, komentar yang simpang siur tentang nasib unit kerja ini justru muncul setelah pertemuan dua pemimpin tersebut. Ketua PBNU, Hasyim Muzadi usai bertemu dengan Jusuf Kalla melansir kepada pers bahwa UKP3R tersebut dibekukan untuk sementara.
Namun, komentar itu justru bertolak belakang dengan pernyataan juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng yang menegaskan tidak ada rencana pemerintah untuk membekukan UKP3R tersebut.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. "Menurut Jubir Presiden tidak ada istilah dibekukan, diendapkan atau dinonaktifkan. Yang ada, Presiden memastikan tim ini betul-betul teknis yang tidak mengambil fungsi Wapres, Menko dan menteri," kata Anas.
Simpang siurnya kejelasan nasib UKP3R ini menjadi sorotan kalangan DPR. Beberapa politisi di DPR meminta agar Presiden memberi penjelasan lebih rinci mengenai hal itu.
Sekretaris Fraksi PPP, Lukman Hakiem. mengatakan masalah ini jadi simpang siur karena penjelasan Jubir Presiden Andi Mallarangeng tidak singkron dengan keterangan Wapres Jusuf Kalla, baik di Golkar, saat bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah, maupun saat bertemu Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi," kata Lukman.
Dalam pandangan Lukman, kesimpangsiuran membingungkan masyarakat. "Perlu dijelaskan apakah dibekukan atau tidak. Keterangan Jubir itu memperuncing hubungan RI-1 dan RI-2," kata Lukman.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam lingkaran SBY dan JK? Menurut Yusuf Yazid, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik dan Militer (P2M), eksistensi UKP3R sebenarnya sah-sah saja. Apalagi unit kerja ini, awalnya merupakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi, tujuannya jelas. Beragam argumentasi dan wacana yang berkembang saat ini, lebih berada dalam ranah politik. Bukan pada substansi perlunya UKP3R. Soal argumentasi antara aktifis Partai Golkar dan Partai Demokrat, khususnya, soal UKP3R wajar-wajar saja. ”Kedua partai itu kan berkewajiban membela tokoh mereka.” Bila ada aktifis partai lain yang meramaikan, itu menunjukkan mereka konsen terhadap persoalan pengelolaan negara. ”Yang penting substansi dari visi dan misi UKP3R jangan dinisbikan,”ujar Yusuf.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Anwar Sanusi, mengatakan ada baiknya Presiden jelaskan masalah itu kepada rakyat. Kalau UKP3R memang dibekukan, sebaiknya Keppres No.17 Tahun 2006 tentang UKP3R segera dicabut, karena kalau tidak dicabut, kesannya institusi baru tersebut masih ada.
"Kalau UKP3R dibekukan, ya cabut Keppresnya supaya tidak disalahgunakan," kata Anwar Sanusi.
Adu argumentasi politik yang berkembang, sangat mengesankan ketidaksukaan terhadap UKP3R. Bahkan pernyataan penolakan yang dilansir sudah mengarah kepada individual Ketua UKP3R, Marsilam Simanjuntak yang disebutkan mempunyai dosa politik. Antara lain dituding sebagai perancang rekomendasi pembubaran Partai Golkar dan DPR, semasa pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid.
Sosok Marsilam-kah yang mengundang resistensi UKP3R? ”Inilah kebiasaan kalangan tertentu di negeri ini, lebih melihat penyanyinya dibanding syair yang dibawakan. Padahal, eloknya si penyanyi belum tentu kelakukan dibelakangnya juga elok. Ada baiknya, kita juga melihat makna syair dan cara melantunkannya,” ujar Yusuf.
Anggota Komisi III DPR, Pupung Suharis, juga minta ketegasan Presiden. Keraguan akan makin menyebabkan rakyat apatis.
Dia mengkritik bahwa saat ini begitu banyak lembaga yang dibentuk. Fungsinya kurang optimal dan koordinasi kurang berjalan baik. "Badan yang dibentuk terlalu banyak, sehingga tidak efektif dan terjadi tumpang tindih di lapangan. Banyaknya lembaga hanya menyedot anggaran negara," katanya.
Memang, kehadiran sebuah lembaga baru akan membawa konsekuensi timbulnya anggaran negara. Namun, dibanding uang yang dijarah para koruptor melalui aksi KKN dengan pengelola negara, rasanya anggaran untuk UKP3R bukan menjadi kendala.
Bila saja kita mau sedikit menoleh kebelakang, sebut saja saat kehadiran Timtas Tipikor atau Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada pelajaran berharga untuk kemajuan bangsa dan negara di bidang penegakan hukum. Sebelum adanya angin KPK dan Tim Tastipikor, tak ada satu mimpipun di negeri ini, seorang menteri, jendral, gubernur, bupati, anggota legislatif, hakim, jaksa, pengacara, pengusaha swasta besar, ataupun pengusaha plat merah (BUMN) , yang maju ke meja hijau secara transparan, baik sebagai saksi atau tersangka dalam kasus korupsi.
Memang, diantara kasus yang ditangani oleh kedua lembaga itu tadi, ada yang sudah selesai menyeret para penilep uang negara ke dalam penjara, memang masih kasus yang belum tuntas. ”Diakui atau tidak, itu fakta eksistensi kedua lembaga baru tadi. Bandingkan saja dengan era hanya ada BPK dan BPKP dengan semua instrumen Waskat dan Wasdal. Jauh berbeda,” ujar Direktur Eksekutif P2M itu.
Membrantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dalam rantai birokrasi memang sulit. Apalagi cara dan teknik melakukan KKN kian beragam. Bila hanya mengandalkan rantai birokrasi formal saja tidaklah cukup. Sejarah pembrantasan KKN merupakan kenyataan. Jalur pintas, cepat dan legal memang merupakan jawaban untuk itu. Sepanjang reformasi administrasi pemerintahan belum terlaksana dengan baik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved