FENOMENA keberadaan tanah musnah menjadi perdebatan yang sangat penting dalam mendiskusikan masalah sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di tepi laut perairan dangkal.
Tanah dinyatakan musnah antara lain karena tanah menjadi tenggelam di bawah permukaan perairan pantai dangkal. Musnah, karena fenomena abrasi.
Sebaliknya tanah musnah menjadi tidak musnah, atau menjadi tanah timbul, atanah bertambah. Hal ini antara lain karena akibat dorongan sedimentasi. Jumlah tanahnya menjadi bertambah, sehingga secara ekstrem memunculkan pulau-pulau baru. Dengan sedimentasi, maka luas daratan menjadi bertambah.
Persoalan tanah musnah menjadi perdebatan yang sangat menarik baru-baru ini antara Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dengan Kades Kohod. Kades meyakini telah terjadi abrasi pada tanah tambak, sehingga tanah tambak yang semula adalah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah girik dan diperjualbelikan dengan mengubah menjadi SHGB dan SHM.
Setelah terjadi abrasi dalam periode waktu sekian lama, maka tanah yang mempunyai hak SHGB dan SHM kemudian tenggelam menjadi tanah musnah. Supaya tanah tidak musnah, maka terdapat fenomena pagar laut misterius dengan maksud berganda, yaitu untuk mengubah dari fenomena abrasi menjadi sedimentasi alamiah.
Juga sekaligus untuk menjadi tempat mencari kerang hijau, menjemur ikan, dan keperluan pembatasan, serta budi daya perikanan pantai laut dangkal lainnya.
Menteri meyakini suatu pemikiran, bahwa terdapat 50 sertifikat berada dalam tampilan tanah musnah, karena Menteri melakukan monitoring ketika posisi air sedang pasang naik, sehingga tidak melihat keberadaan tanah. Kondisi permukaan air laut sedang tinggi, sehingga jumlah tanah tidak ditemukan dan keberadaan kondisi ini diartikan bahwa hak atas tanah telah musnah secara aktual on the spot.
Alas hak berupa tanah tidak terlihat. Sedangkan sisa sertifikat yang lain yang sebanyak 269-50 = 219 bidang masih dilakukan pendalaman.
Menteri sesuai pedoman dari UU tidak menggunakan tinjauan empiris periode waktu analisis jangka panjang. Periode analisis penerbitan sertifikat dilakukan hanya dalam durasi 5 tahun saja, sedangkan fenomena abrasi, ataukah sedimentasi memerlukan periode analisis lebih dari 5 tahun.
Sementara itu pakar meyakini bahwa di Pulau Jawa bagian Selatan terjadi abrasi, sedangkan di bagian utara Pulau Jawa diyakini terjadi sedimentasi. Hal itu menggunakan pertimbangan analisis citra satelit secara historis.
Akan tetapi persoalannya adalah pada pantai utara Pulau Jawa sering terjadi peristiwa banjir air rob. Banjir tersebut membuat tepi pantai tergenang. Semakin lama semakin banyak rumah-rumah yang tergenang banjir, tambak, dan bangunan lainnya, bahkan semakin tenggelam.
Masjid yang semula di tepi pantai, kemudian masjid akhirnya berada jauh di laut perairan dangkal. Bukan hanya terjadi di Kabupaten Tangerang, melainkan banjir air rob atau naiknya permukaan air laut ke daratan juga terjadi di pantai utara Jakarta, Bekasi Utara, Karawang, Pekalongan, Semarang, dan seterusnya.
Masalahnya adalah banjir air rob terjadi ketika air pasang atau air naik ke pantai itu apakah ditafsirkan sebagai peristiwa abrasi, ataukah sedimentasi. Jika sebagai peristiwa abrasi mempunyai implikasi bahwa luas daratan tepi pantai menjadi berkurang. Jika diartikan sebagai peristiwa sedimentasi, tentu luas pantai menjadi bertambah.
Pantai menjadi bertambah luas. Keluasan daratan pantai dengan adanya fenomena sedimentasi tentu akan membuat kepulauan seribu yang berada di bagian utara segera menyatu dengan Daerah Khusus Jakarta.
Sedimentasi juga seyogyanya membuat Pulau Karimun Jawa menyatu dengan provinsi Jawa Tengah. Sedimentasi juga semestinya membuat Pulau Kangean bersatu dengan Pulau Madura, kemudian Pulau Madura bersatu dengan Pulau Jawa tanpa harus dihubungkan menggunakan Jembatan Suramadu.
Demikian pula fenomena sedimentasi pun suatu ketika akan membuat Pelabuhan Bakauheni bersatu dengan Pelabuhan Merak tanpa penghubung Selat Sunda.
Hal itu, jika yang terjadi adalah sebagai peristiwa sedimentasi di perairan pantai utara kabupaten Tangerang. Jika yang terjadi adalah fenomena sedimentasi, maka tidak perlu ada 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Tidak perlu ribut-ribut urusan pro kontra reklamasi pulau C dan G.
Tidak perlu berdebat tentang tanah musnah dalam UU. Tidak akan ada persoalan pemagaran laut. Tidak perlu sibuk urusan banjir rob.
Jika sebagai fenomena sedimentasi, maka pemerintah semestinya tidak perlu membangun Giant Sea Wall yang membentang dari provinsi Banten hingga Surabaya di provinsi Jawa Timur.
Tidak perlu takut pada fenomena banjir besar musiman yang pernah nyaris menenggelamkan kota Jakarta secara periodik musiman setiap 5, 10, 15, atau 20 tahun sekali. Juga tidak perlu kegiatan di 14 titik reklamasi pada pulau-pulau di Indonesia yang dewasa ini sedang terjadi.
Selanjutnya, kecamatan-kecamatan yang mempunyai tepi pantai di kabupaten Tangerang memperlihatkan perkembangan luas wilayah yang berkurang sebagai berikut. Kecamatan Kronjo seluas 68,05 km persegi tahun 2006 menjadi seluas 46,51 km persegi tahun 2023.
Kecamatan Mauk mempunyai luas wilayah 51,42 km persegi tahun 2006 menjadi seluas 44,94 km persegi tahun 2023. Meskipun demikian, pengukuran ini dilakukan masih secara kasar, karena tidak secara langsung teliti memperhitungkan perkembangan pengukuran luas wilayah di tepi pantai dan tidak memperhitungkan pemekaran wilayah.
Dalam beberapa hal memang dijumpai luas wilayah kecamatan yang bertambah secara historis periode tahun 2006-2023, sehingga memerlukan penelitian secara lebih mendalam.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved