SEBAGAIMANA perangkat teknologi seperti handphone atau laptop yang perlu dilakukan “reset” atau “restart” ketika sistem operasinya mengalami gangguan (hang) dan tidak lagi berfungsi optimal, demikian pula halnya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Konstitusi sebagai fondasi hukum negara memiliki fungsi utama untuk menjaga stabilitas dan ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, setelah dilakukan serangkaian amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, berbagai penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar telah terjadi.
Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem ketatanegaraan dan mengancam nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya menjadi staatsfundamentalnorm atau norma dasar negara. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk mengembalikan Indonesia kepada UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 pada periode 1999-2002 telah terjadi penghapusan terhadap sebagian pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Proses amandemen ini melanggar prinsip fundamental yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.
MPR periode 1999-2004 yang dipimpin Amien Rais tidak memiliki kewenangan untuk mengubah atau menghilangkan staatsfundamentalnorm yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga amandemen yang dilakukan tidak sah secara hukum mengingat landasan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga tidak pernah dinyatakan dicabut.
Pancasila sebagai norma dasar negara adalah landasan hukum tertinggi yang bersifat tetap dan tidak dapat diganggu gugat. Penghapusan atau perubahan terhadap prinsip dasar (amandemen empat kali) telah bertentangan dengan hierarki hukum yang diatur melalui teori Hans Kelsen dan Nawiasky, sehingga merusak tatanan hukum negara.
Dengan demikian, amandemen terhadap UUD 1945 menjadi tidak sah karena telah menghapus legitimasi hukum yang seharusnya tetap dihormati dan dijaga.
Maka untuk mendukung argumen kembali kepada UUD 1945 perlu dikaji dasar hukum yang memperkuat kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila. Dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 (naskah asli) disebutkan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Amandemen telah mengubah konsep ini menjadi demokrasi langsung yang melanggar asas musyawarah. MPR yang berfungsi menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara juga telah dihapus dalam amandemen. Sehingga kewenangan MPR sebagai lembaga bangsa sekaligus lembaga tertinggi negara telah hilang. Perannya sebagai representasi kedaulatan rakyat juga tidak ada, sehingga yang terjadi adalah kedaulatan elite yang direpresentasikan para politisi partai politik.
Dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada akhirnya nilai Ketuhanan sebagai landasan moral hukum tidak pernah dijalankan. Hal itu tercermin dalam kebijakan yang makin bersifat liberal pasca-amandemen.
Jadi sudah sangat jelas jika amandemen telah mengurangi bahkan menghilangkan makna dari pokok-pokok pikiran yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Sehingga dapat dikatakan antara Pancasila dengan konstitusi saat ini (UUD 2002) tidak kongruen alias tidak sejalan.
Kembali ke UUD 1945 Asli sebagai Solusi
Dalam situasi ketatanegaraan mengalami penyimpangan serius dan terjadinya krisis multidimensi secara masif, satu-satunya cara untuk menyelamatkan bangsa ini adalah dengan kembali kepada UUD 1945 yang asli. Proses ini bukan sekadar langkah mundur, melainkan langkah korektif yang sesuai dengan analogi “reset” sistem operasi dalam teknologi.
Langkah-langkah yang perlu diambil ialah dengan mengembalikan staatsfundamentalnorm sebagai landasan hukum tertinggi.
Sudah tentu dengan menghapus hasil amandemen yang bertentangan dengan prinsip dasar Pancasila atau menyatakan bahwa UUD 2002 alias UUD 1945 palsu tidak berlaku lagi. Sementara yang harus berlaku ada UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan diperkokoh melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Jika ada argumentasi bahwa konstitusi itu bersifat dinamis, maka perlu dikaji secara holistic adanya perubahan atau penambahan (addendum) sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Dengan catatan terpentingnya adalah addendum tidak merubah bentuk asli (hanya bersifat lampiran) dan pastinya tidak boleh bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pancasila.
Tulisan ini mengingatkan kita semua bahwa konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, melainkan cerminan dari cita- cita luhur para pendiri bangsa. Ketidakpatuhan terhadap norma fundamental negara akan membawa bangsa ini pada ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki tanggung jawab sejarah untuk menjaga integritas konstitusionalnya. Oleh karena itu, dukungan seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengembalikan UUD 1945 ke posisi semula sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Hanya dengan kembali pada staatsfundamentalnorm, bangsa ini akan mampu mengatasi krisis konstitusi dan melangkah menuju masa depan yang lebih berdaulat, adil, dan sejahtera.
*Penulis adalah Ketua Presidium Pejuang Bela Negara
© Copyright 2025, All Rights Reserved