Pernyataan Presiden RI ke-7, Joko Widodo terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di laut Tangerang dianggap kontroversi.
Pasalnya, Jokowi justru meminta apakah SHGB itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada atau belum. Ia malah meminta untuk diperiksa secara menyeluruh mulai dari kelurahan. Jokowi meminta agar proses legal penerbitan sertifikat tersebut diperiksa secara menyeluruh.
Pernyataan tersebut disampaikan kepada wartawan yang menemuinya di Solo, Jawa Tengah, Jumat (24/1/2025).
"Ya, yang paling penting itu proses legalnya. Prosedur legalnya dilalui atau tidak. Betul atau tidak betul. Itu kan proses dari kelurahan, proses ke kecamatan, proses di Kantor BPN kabupaten, kalau untuk SHM-nya,” ujar Jokowi saat itu.
Pernyataan Jokowi itu mendapat kritik keras dari Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari. Menurut Noor Azhari, pernyataan Jokowi itu justru menyalahkan bawahan tanpa introspeksi diri.
Ia lalu meminta agar Presiden Prabowo Subianto tidak mencontoh sikap pengecut Jokowi yang cenderung menyalahkan anak buah. Menurutnya, Prabowo harus mengambil langkah tegas dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Presiden Prabowo harus berani menunjukkan bahwa hukum adalah panglima di negara ini. Belajarlah dari Singapura, di mana hukum ditegakkan tanpa memandang siapa pelakunya, baik konglomerat maupun perusahaan asing. Jika melanggar, izinnya langsung dicabut,” ujar Noor Azhari, dikutip Minggu (24/1/2025).
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia harus berdiri sebagai negara hukum (rechtstaat), di mana aturan main dijalankan secara adil.
“Tidak ada manusia atau korporasi yang kebal hukum di negara ini. Hukum adalah penguasa tertinggi, bukan individu tertentu,” ujarnya dengan tegas.
Noor Azhari juga menambahkan, Jokowi seharusnya memahami proses pemberian sertifikat laut yang terjadi di bawah masa kepemimpinannya.
“Semestinya beliau melakukan cross-check mendalam sebelum membuat pernyataan. Namun yang terjadi justru seperti upaya cuci tangan dengan menyalahkan bawahan dan sistem pelayanan satu pintu. Ini benar-benar mencoreng kredibilitasnya sendiri,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa seorang mantan presiden seharusnya tampil sebagai tokoh bangsa yang bijaksana, mendorong rekonsiliasi, dan menjadi penengah, bukan justru ikut memperburuk keadaan.
“Jokowi seharusnya memberikan contoh kepemimpinan yang baik, bukan terus-menerus menyalahkan bawahan. Sikap seperti ini sangat aneh dan tidak mencerminkan seorang tokoh bangsa,” imbuh dia.
Noor Azhari juga menilai langkah Jokowi yang menyebutkan kepala daerah di tiga provinsi, yakni Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur, seolah-olah dirinya masih memiliki kuasa.
“Beliau lupa bahwa posisinya sekarang adalah mantan presiden. Mengintervensi kepala daerah secara terbuka hanya akan menimbulkan kesan bahwa beliau tidak memahami transisi kepemimpinan,” tegasnya.
Selain itu, Noor Azhari juga mengkritik kebijakan reklamasi di Semarang, Jawa Tengah, yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
“Ribuan hektare sawah produktif hancur akibat reklamasi ini. Beliau seharusnya bertanggung jawab atas warisan kebijakan tersebut, bukan menyalahkan bawahan. Apa yang dilakukan Jokowi seperti peribahasa ‘menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’,” sindir dia.
Ia juga mengingatkan bahwa stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap pemerintah saat ini harus dijaga dengan baik.
“Para pejabat publik, baik yang masih aktif maupun mantan, harus menjaga kepercayaan publik. Jangan memperkeruh suasana dengan komentar yang tidak bijaksana. Stabilitas politik dan sosial adalah kunci untuk masa depan bangsa yang lebih baik,” pungkasnya. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved