PEMBANGUNAN pagar laut 30,16 kilometer di pantai utara Kabupaten Tangerang telah menimbulkan perdebatan yang sangat sengit. Perdebatan yang panjang, lebar dan mendalam. Memperdebatkan soal perizinan.
Oleh karena tidak ada yang mengaku secara terang-benderang mempunyai izin pembangunan pagar laut, maka kegiatan pembangunan pagar laut divonis terlarang. Haram jadah.
Walaupun kemudian terdapat jaringan rakyat pantai utara yang mengaku telah membangun pagar laut secara swadaya, namun pikiran akal sehat dijadikan pembenaran bahwa kelompok jaringan rakyat pantai utara mustahil mempunyai kemampuan permodalan dan secara teknis mampu membangun pagar laut yang sepanjang itu.
Ditolak, karena melawan akal sehat. Mustahil, sehingga pagar laut kemudian bukan hanya disegel, melainkan dibongkar paksa oleh aparat pemerintah pusat bersama para nelayan setempat.
Pagar laut divonis melanggar kepemilikan komunal. Kepemilikan bersama. Laut sebagai kepemilikan bersama tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan hanya dari sebagian kelompok kepentingan. Musti sebagai kepentingan bersama.
Perairan laut dangkal terkesan dijadikan komitmen bersama untuk tidak boleh dipagari secara mengganggu alur pantai dan usaha nelayan berskala mikro dan kecil dalam mencari nafkah perikanan tangkap. Hal itu, karena pagar laut mengganggu nelayan dalam mencari ikan di perairan laut dangkal. Pemagaran laut divonis melanggar UU, karena tanpa izin tertulis dari pemerintah pusat.
Ini regime perizinan, yang bukan lagi sekedar sebagai masalah menghalang-halangi nelayan berkapasitas mikro dan kecil dalam mencari nafkah di laut perairan dangkal.
Nelayan yang mempunyai peralatan berkapasitas skala menengah dan besar dapat menangkap ikan secara lebih bebas dan merdeka ke wilayah perikanan tangkap. Nelayan ini dapat menangkap ikan ke wilayah yang jauh dan lebih luas menggunakan teknologi yang lebih modern.
Menggunakan metoda menangkap ikan laut memakai teknologi tinggi untuk mendeteksi keberadaan kumpulan ikan laut berukuran lebih besar menggunakan teknologi satelit. Menangkap ikan di perairan laut di atas permukaan dan di dalam laut yang dalam.
Penggunaan teknologi satelit untuk perikanan tangkap sangat penting, di tengah keberadaan fenomena over fishing. Bahkan pada kapal-kapal berukuran lebih besar, kalau perlu ikan di laut dilakukan pengolahan dan pengalengan ketika masih di kapal laut.
Dengan demikian, ketika kapal nelayan berlabuh di pelabuhan perikanan, maka ikan dalam kaleng sudah siap diperdagangkan ke pasar-pasar modern, atau pun diekspor ke negara-negara lain.
Jadi, keberpihakan pemerintah bukanlah untuk mempersenjatai nelayan berkapasitas mikro dan kecil untuk naik kelas ke kapasitas menjadi berskala menengah dan besar, bahkan untuk menjadikan nelayan berkapasitas sebagai eksportir perikanan tangkap di negara maritim kelas dunia, melainkan justru lebih sibuk membongkar pagar laut.
Mengerjakan persoalan yang terkesan berskala mikro dan kecil menggunakan pasukan khusus, tank amphibi, dan lain sebagainya. Mengerjakan yang serba lebih mudah dan pasti.
Sementara itu berbagai bagan atau karamba-karamba di perairan laut dangkal dibiarkan secara pilih kasih untuk tetap berkembang. Berbagai tambak di tepi pantai sebagai perikanan tepi pantai, maupun tambak untuk memproduksi budidaya garam rakyat diperkenankan.
Justru yang dipersoalkan adalah urusan perizinan dibandingkan urusan-urusan pemberdayaan nelayan dan penumbuhkembangan investasi di perairan laut dangkal. Sibuk, karena bisanya mempraktekkan bongkar membongkar.
Sesungguhnya berbagai jenis budidaya perikanan di pesisir pantai berjumlah sangat banyak, namun regime perizinan diyakini lebih penting oleh pemerintah. Penting sebagai konstruksi perizinan. Penting karena menggunakan alasan potensi pelanggaran kedaulatan negara.
Penting karena menggunakan dasar pemikiran berpotensi mengganggu aspek pertahanan dan keamanan di laut. Untuk pemikiran mencegah dari serangan dari negara musuh, yang dapat masuk dari jalur perdagangan laut internasional.
Itu sebuah pemikiran sebagai ketakutan, yang melupakan persoalan yang justru bersifat lebih mendasar, yaitu ikan-ikan menjauh dan terjadi over fishing, karena eksploitasi perikanan laut yang berlebihan. Ikan-ikan dan biota laut semakin menjauhi perairan laut dangkal, karena pencemaran air laut dari pencemaran yang ditimbulkan mulai dari hulu hingga hilir di daratan.
Bukannya urusan pencemaran air yang diselesaikan secara paralel, melainkan pagar laut yang dibongkar-bongkar, sedangkan persoalan pagar laut tersebut dengan berbagai modifikasinya sebenarnya berjumlah sangat banyak di perairan laut dangkal di Indonesia.
Haruskah pasukan-pasukan khusus diperintah untuk membersihkan peralatan-peralatan budidaya di perairan laut dangkal di seluruh Indonesia, supaya terbangun keadilan dan kesejahteraan rakyat. Supaya laut yang bersifat komunal mempunyai perizinan.
Bukankah selain urusan pagar laut, terdapat pembangunan alur pantai untuk pembuatan pelabuhan perikanan laut sebagai penghasil ikan-ikan berukuran lebih besar. Bukankah terdapat eksplorasi dan eksploitasi pengeboran minyak di laut. Boleh, karena mempunyai izin.
Jadi, pembongkaran pagar laut sebenarnya merupakan representasi sebagai bentuk kegiatan memamerkan penindakan kegiatan tanpa izin. Regime perizinan. Regime uang masuk ke negara. Regime pungutan untuk mendongkrak kenaikan keuangan negara. Bukan lagi berfokus menjadi soal pelanggaran lingkungan hidup, atau pun semua apa yang telah disebutkan di atas.
Juga sesungguh apanya yang dilanggar, jika ditinjau dari sudut pandang lingkungan hidup. Sebab, Indonesia mempunyai 17.001 pulau (BPS, 2024). Tercatat Provinsi Papua Barat Daya mempunyai 3.022 pulau. Provinsi Kepulauan Riau mempunyai 2.028 pulau. Provinsi Sulawesi Tengah mempunyai 1.572 pulau. Provinsi Daerah Khusus Jakarta mempunyai 113 pulau. Kemudian Provinsi Banten mempunyai 81 pulau.
Itu adalah pulau-pulau yang secara alamiah dimiliki oleh Indonesia. Artinya, tidak ada masalah dengan mempunyai banyak kepulauan. Itu suatu aset negara. Kemudian apa masalahnya, jika ditumbuhkembangkan reklamasi perairan laut dangkal untuk menambah pulau-pulau yang baru.
Menambah daratan di sekeliling pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang lebih responsif. Misalnya di perairan laut dangkal di utara Kabupaten Tangerang. Bukankah Provinsi Banten hanya mempunyai 81 pulau. Sedikit.
Untuk perluasan daratan. Di manakah letak pelanggaran-pelanggaran lingkungan hidup untuk pembangunan reklamasi pantai laut dangkal menjadi daratan, karena Indonesia sudah kaya dengan pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil. Menambah kekayaan.
Bukankah tidak mudah untuk mengembangkan pulau-pulau kecil alamiah sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal, regional, dan nasional. Bukankah perencanaan tata ruang dan wilayah seharusnya menyadari sepenuhnya terhadap banyaknya kepemilikan dan kekayaan pulau-pulau di Indonesia, namun pemerintah justru menolak mentah-mentah reengineering pembangunan daratan reklamasi di Pantai Utara Pulau Jawa dan Pantai Utara Kabupaten Tangerang.
Mengapa pemerintah justru menolak reklamasi pantai perairan dangkal. Bukankah negara-negara lain justru melakukannya. Di Indonesia pun secara alamiah juga telah memilikinya ribuan pulau-pulau kecil. Akan tetapi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional justru sibuk membatalkan penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha dan sertifikat Hak Milik di areal pagar laut.
Menolak restorasi abrasi perairan laut dangkal. Menolak investasi reklamasi pantai perairan laut dangkal. Menolak barokah banyaknya ribuan kepulauan atas keberadaan pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Keberadaan Undang-Undang yang melupakan kekayaan alam negara pada banyaknya kepulauan sebagai barokah. Menolak investasi. Lebih mendengarkan aktivis lingkungan hidup yang senantiasa mengkhawatirkan reklamasi pantai perairan dangkal dibandingkan keberadaan ribuan pulau di Indonesia sebagai aset bangsa, yang tidak mengganggu keseimbangan alam semesta.
Ini masalah teknologi, bukanlah masalah gangguan lingkungan hidup. Sibuk menolak konstruksi isu SARA dan isu peningkatan kesenjangan sosial ekonomi. Isu potensi pendudukan oleh WNI keturunan, yang didengung-dengungkan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang terkesan menolak perubahan sosial dan percepatan pembangunan infrastruktur, yang bersumber bukan dari APBN dan APBD.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved