Lembaga pegiat hak asasi manusia Amnesty International mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengubah kebijakannya sebelum catatan HAM awalnya lebih tercemar lagi.
Amnesty International mengatakan, eksekusi mati juga akan mengurangi kredibilitas Indonesia untuk berbicara tentang HAM di level regional dan global. Termasuk menyelamatkan nyawa warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di negara lain.
Amnesty International menyarankan Indonesia seharusnya memilah permohonan grasi terpidana mati berdasarkan kasus per kasus. Amnesty juga menyinggung mengenai kondisi kesehatan mental salah seorang terpidana mati.
"Eksekusi ini harus segera dihentikan. Salah satu terpidana mati pria telah didiagnosa dengan paranoid schizophrenia, meski hukum internasional tidak bisa lebih jelas lagi menyatakan larangan untuk menghukum mati mereka yang menderita penyakit kejiwaan," kata Direktur Riset Amnesty Internasional di Asia Tenggara, Rupert Abbott, Jumat (05/03),
"Kegagalan Indonesia untuk mempertimbangkan permohonan grasi atas dasar kasus per kasus untuk mereka yang dihukum mati karena kejahatan narkoba bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan hukum internasional sekaligus memunculkan pertanyaan serius tentang peraturan hukum di Indonesia," kata Abbott.
Terpidana yang disebut mengalami masalah kejiwaan adalah Rodrigo Gularte. Seorang kerabat Rodrigo, Angelita, dalam wawancara dengan BBC mengatakan, Rodrigo tidak menyadari apa yang terjadi.
"Kalau saya datang untuk menjenguknya, dia akan bercerita, ngobrol seperti tidak terjadi apa-apa. Dia tidak menyadari apa yang terjadi dan apa nasib yang akan menimpanya," ujar Angelita.
© Copyright 2024, All Rights Reserved