Bermula dari demikian sering tamu menyambangi ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Mahkamah Agung (MA). Sungguh menggiurkan. Para tamu membawa bergepok-gepok uang atau beberapa lembar cek. Hakim agung yang berdinas mulai tahun 2000 ini risih dibuatnya.
Artidjo Alkostar –demikian hakim agung yang sampai sekarang masih mengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta—pun lalu memasang tulisan pengumuman di pintu ruang kerjanya: tidak menerima tamu yang berhubungan dengan perkara.
Ya, itu empat tahun silam. Kini tulisan itu tak lagi terpampang di pintu ruang kerjanya. Dan, berpindah ke pintu masuk utama gedung MA, baik di depan maupun di belakang.
“Ya, setelah tulisan itu ada di pintu masuk utama, saya copot yang di sini. Ada dampak, saya sudah duluan menerapkan aturan itu. Jadi dengan demikian secara institusional, sekarang MA menolak kedatangan tamu seperti itu,” tutur penyandang LLM lulusan Northwestern, Chicago, tahun 2002 ini.
Selain rasa risih menghadapi tamu yang berkaitan dengan perkara, Artidjo merasa waktunya akan habis hanya untuk menerima tamu-tamu macam ini. Ditambah lagi, uang merupakan godaan yang amat besar. “Saya merasa lemah, dhaif. Saya merasa takut tergelincir. Semua orang butuh uang, tapi kalau caranya begitu kan tidak berkah,” ujar lelaki kelahiran Sumenep, Madura, 22 Mei 1948, ini.
Berkaitan dengan tamu-bertamu ini, ada hal yang berubah total pada diri Artidjo. Kalau dulu ketika menyandang profesi advokat ia berusaha berkawan dengan sebanyak-banyak orang. Sekarang, sebagai Hakim Agung, ia berusaha menghindari utang jasa atau balas budi.
Balas budi akan sangat mempengaruhi neraca sebuah putusan hakim. Hilang obyektivitas. Lantaran menghindari utang jasa, Artidjo siap untuk tidak berkawan. “Saya harus menjaga jarak, harus adil. Karena tugas saya adalah tugas publik. Harus adil kepada siapapun. Orang yang saya benci sekalipun harus saya perlakukan secara adil,” tandas hakim agung berperawakan cenderung kurus ini.
Adil memang terasa asing di dunia peradilan kita. Tapi, bagi seorang Artidjo kata adil sudah sangat mengkristal dalam dirinya. Karena, dengan berbuat adil berarti dia mendapat pahala. Kalau kemudian hal itu dikotori dengan upaya main mata dengan pihak-pihak yang berperkara, jelas akan mendzalimi orang dan menambah deret dosa. Itu yang sangat dihindari oleh anggota Dewan Kehormatan Ikadin Cabang Yogyakarta ini.
Artidjo sangat ingin mewarnai dengan pahala lewat tumpukan perkara-perkara yang terus menumpuk di meja kerjanya. Sebagai hakim agung, ia ditarget menyelesaikan minimal 60 perkara tiap bulan. “Sekarang saya di posisi yang menentukan, misalnya tentang menjatuhkan hukuman. Sedapat mungkin saya tidak tahu siapa yang berperkara,” ucapnya ringan.
Di masa remaja, tak terbersit sedikit pun Artidjo menyandarkan angan sebagai orang yang kemudian berkecimpung di dunia hukum. Selepas SMA di Asembagus, Situbondo, sekitar 1970, dengan menitipkan seorang tetangganya, ia minta bantuan didaftarkan di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM). Alasannya sederhana, kedua orangtuanya bekerja sebagai petani.
Tapi, UGM rupanya sudah tutup. Atas saran tetangganya yang dititipi, Hakim Agung yang suka naik bajaj atau taksi dari rumah kontrakannya di Kramat Kwitang ke kantor itu mendaftarkan ke FH UII.
“Saya diterima di FH UII. Saya termasuk empat orang yang lulus pertama.
Setelah itu saya ikut organisasi dewan mahasiswa, saya langsung menjadi senang di FH UII. Lupa sama pertanian,” aku lelaki yang di sela-sela kesibukannya menangani perkara menyempatkan diri men-training tanaman bonsai ini.
Apalagi, setiap kali pulang ke Asembagus, Direktur Pusat Studi HAM UII ini kerap membantu orang yang mengalami kasus hukum, terutama para petani yang dipaksa mengikuti program Tebu Rakyat Intensifikasi pada 1970-an. Menurutnya, program itu tak memiliki dasar hukum untuk memaksa.
Selepas kuliah tahun 1976, memasuki dekade 1980-an, Artidjo banyak membela kasus-kasus yang menyangkut wong cilik. Ia menyebut kasus-kasus penembakan misterius yang di tahun 1983 banyak menimpa para gali di Yogya, Probolinggo dan Kediri. Sampai-sampai ia mendapat ancaman, “Artidjo kamu jangan sok pahlawan, penembak misterius bisa datang ke tempat kamu.”
Mengenai langkah yang getol menentang penembakan misterius, Artidjo sekadar ingin menyampaikan pesan bahwa meski kita membenci pelaku kriminal toh prosedur formal harus tetap dijalankan.
Tak cuma berhenti pada kasus penembakan misterius, Direktur LBH Yogya 1983-1989 ini terus saja berkutat dengan kasus-kasus yang rentan ancaman. Sebut antara lain ia adalah ketua tim pembela kasus pelarungan “Darah Udin”, wartawan Bernas Fuad M. Safruddin (1996); Ketua Tim Pembela kasus Soehardjo Wilardjito (mantan Ajudan Presiden Soekarno) yang disidik polisi karena mengatakan bahwa lahirnya Supersemar berkat adanya todongan pistol beberapa jenderal (1997-1998); dan kuasa hukum petani garam di Madura tahun 1999. Ia jadi merasa kebal terhadap teror dan intimidasi.
Berkat pengalamannya sebagai pengacara dalam kasus-kasus kriminal bernuansa politis dan hak asasi manusia (HAM), di MA, Artidjo berada di Tim Garuda yang banyak menangani kasus korupsi, teror, dan narkoba. “Saya pernah mengadili kasus korupsinya Soeharto, bersama hakim agung almarhum Safiudin Kartasasmita, saya membuat dissenting opinion bahwa kasus Soeharto dibuka kembali bilamana yang bersangkutan sembuh. Juga menangani gugatan pembubaran Golkar. Tak ada intimidasi atau teror,” papar anggota Tim Pembela gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah dalam kasus Kuningisasi pada 1997 ini.
Memang, sebagai hakim yang datang kepadanya bukan lagi teror. Yang ada adalah tawaran makan siang, tawaran transfer dana Rp150 juta, dan permintaan seorang bupati yang mohon dibantu perkaranya. Hakim agung yang pernah bekerja di Human Rights Watch New York 1989-1991 ini tegas bersikap, “Saya terhina, Anda ingin membeli integritas saya. Jangan lagi Anda menghubungi saya.”
Tak ada yang berubah dalam sikap seorang pendekar hukum yang satu ini. Dulu waktu jadi pengacara, ia sangat berpantang nyogok polisi, jaksa dan hakim. Kini ketika ia berada di posisi hakim, ia tak ingin disogok dan disuap. Untuk menangkal itu semua ia terus berjuang keras sebagaimana spirit bonsai beringin yang mampu hidup di atas batu.
Artidjo sangat sadar di akherat kelak, hakim bakal duduk sebagai terdakwa dan tak bisa mengelak dari tuduhan.
Periksa Pejabat tak Perlu Izin Presiden
Apa yang harus dibenahi di tengah carut-marut hukum kita?
Yang masih perlu dibenahi di negara kita ini, pertama, sistem hukum. Secara teoritis ada tiga komponen: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Yang lemah di kita ini budayanya. Ketiga-tiganya sebetulnya masih lemah. Perangkat hukum lemah karena pembuatan UU masih dikelola seperti supermarket. Masing-masing departemen membuat atau mengusulkan. Begitu banyak perangkat UU tumbuh liar. Tidak nyambung satu sama lain. Kadang karena begitu liarnya, sampai ada perangkat UU minim diterapkan. Misalnya UU Suap tahun 1980 itu tak pernah diterapkan. Itu dulu mau diterapkan pada pemain sepak bola yang terlibat penyuapan. Itu yang di luar korupsi karena korupsi kan menyangkut keuangan negara. Itu yang tidak pernah diterapkan lalu menjadi antik. Seharusnya ada matriks, tersistem. Juga dulu pernah diuji di MA ini bahwa data tentang terorisme dari intelijen bisa menjadi bukti kalau ditetapkan oleh ketua pengadilan. Itu dalam bentuk apa. Ketua pengadilan itu apakah boleh wakilnya atau dengan yang lain. Itu masalah.
Pembentukan UU mestinya melalui satu dapur, yang dulu disebut Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Soal budaya hukum, pemimpin negara kita tidak pernah memberikan contoh secara ksatria ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jangankan pemimpin negara, bupati dan gubernur saja melecehkan pengadilan. Apa benar negara kita ini negara hukum. Budayanya tidak mendukung.
Apa solusi dari kelemahan budaya ini?
Kultur itu bisa dibentuk lewat pengadilan, kalau pengadilan membuat keputusan tegas, orang kan mikir-mikir. Pengadilan itu termasuk bagian untuk membentuk peradaban. Bangsa ini tak akan tegak tinggi bila pengadilannya tidak adil.
Proses budaya ini bukan matematis. Tapi harus ada kejutan-kejutan. Cina termasuk yang menggunakan kejutan-kejutan. Misalnya menghukum mati koruptor.
Selain sistem hukum, apa lagi yang mesti dibenahi?
Karakter. Karakter penegakan hukum di Indoensia sejak zaman Hindia Belanda itu sama, oportunistik. Setiap mau memeriksa pejabat harus seizin presiden. Ini harus diubah. Harus diserahkan ke institusi hukum. Jaksa Agung atau siapa diperkuat. Presiden kan lembaga politik. Presiden bisa berubah-ubah setiap saat. Berbagai negara di Eropa menganut kekuatan pada lembaga hukum. Pertimbangan yang betul-betul yuridis. Jadi berwibawa.
© Copyright 2024, All Rights Reserved