Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan, eksekusi terhadap para terpidana mati dilakukan karena proses hukum para terpidana tersebut sudah final. Eksekusi mati para terpidana mati disebut tidak untuk kepentingan pencitraan pemerintah menjelang pemilu 2014.

"Tidak ada latar belakang kepentingan politik, apalagi pencitraan. Semua semata didasarkan atas proses hukum yang sudah ditempuh maksimal oleh para terpidana," kata Djoko Suyanto, Sabtu (18/05).

Djoko menyampaikan hal tersebut menanggapi pernyataan dari Koalisi Hapuskan Hukuman Mati (Hati) bahwa meningkatnya angka eksekusi mati di Tahun 2013 dimaksudkan agar pemerintah dianggap tegas oleh publik menjelang pemilu 2014.

Pada tahun 2013 ini, Kejaksaan Agung rencananya akan mengeksekusi mati 10 terpidana mati. Empat orang telah dieksekusi. Padahal, tahun 2010, 2011, dan 2012, tidak ada eksekusi mati yang dijalankan.

Begitu pula pada Tahun 2008 atau satu tahun menjelang pemilu 2009, sebanyak 10 orang juga dieksekusi mati.

Sementara, pada tahun 2004 hanya tiga yang dieksekusi mati, 2005 sebanyak dua orang, 2006 tiga orang, dan 2007 hanya satu orang.

Djoko mengaku sudah membaca berkas kasus tiga terpidana yang dieksekusi, yakni Suryadi Swabuana bin Sukarno alias Adi Kumis, Jurit bin Abdullah, dan Ibrahim bin Ujang. Menurut Djoko, pembunuhan yang dilakukan ketiga terpidana tergolong sangat sadis.

Suryadi adalah terpidana kasus pembunuhan satu keluarga di kawasan Pupuk Sriwijaya, Palembang, Sumsel pada 1991 . Sedangkan Jurit dan Ibrahim adalah terpidana pembunuhan berencana di Sekayu, Musi Banyuasin, Sumsel pada 1997 .

Djoko mengatakan, tidak semua terpidana mati dilakukan eksekusi. Sebab ada juga yang diberikan grasi oleh Presiden. "Hukuman mati itu kan juga sampai sekarang masih ada dalam KUHP," pungkas Djoko.