SETELAH 22 tahun hidup di bawah konstitusi hasil amandemen, Indonesia dihadapkan pada realitas ketimpangan pembangunan, maraknya korupsi, dan dominasi oligarki.
Kini, wacana untuk mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang asli kembali mencuat, bukan sebagai langkah mundur, melainkan sebagai strategi memperbaiki arah bangsa. Lebih dari itu, gerakan ini juga merupakan bagian dari “Bela Negara” yang relevan dan strategis untuk generasi milenial.
UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dirancang dengan visi besar untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat. Namun, amandemen yang terjadi dalam periode 1999-2002 telah menggeser fondasi demokrasi musyawarah menjadi demokrasi transaksional.
Sistem pemilihan langsung yang diadopsi pasca-amandemen membuka celah bagi praktik politik uang, memperkuat oligarki, dan mereduksi peran rakyat menjadi sekadar angka statistik dalam pemilu. Partai politik yang seharusnya menjadi tempat kaderisasi pemimpin justru berubah menjadi mesin transaksi kekuasaan, memperdagangkan suara dengan mahar politik yang mahal.
Bagi generasi milenial, sistem ini menghadirkan tantangan besar. Keterbatasan akses terhadap ruang politik membuat mereka sulit berpartisipasi secara aktif, sementara biaya politik yang tinggi membatasi peluang lahirnya pemimpin muda yang berintegritas.
Salah satu perubahan mendasar setelah amandemen adalah dihapusnya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sebelumnya menjadi panduan pembangunan jangka panjang. Tanpa GBHN, pembangunan nasional bergantung pada visi jangka pendek presiden yang terpilih, sering kali tanpa kesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya.
Situasi ini berisiko menjadikan pembangunan sebagai proyek politis semata, bukan sebagai upaya sistematis untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Generasi milenial yang akan memimpin masa depan bangsa memerlukan arah yang jelas dan stabil, bukan kebijakan tambal sulam yang berubah setiap lima tahun.
Generasi Milenial sebagai Garda Terdepan Bela Negara
Mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 yang asli bukan hanya persoalan hukum dan politik, melainkan juga bagian dari “Bela Negara” dalam arti yang lebih luas.
Dulu, bela negara mungkin identik dengan perjuangan fisik melawan penjajah. Namun, di era modern, bela negara melibatkan kesadaran untuk menjaga kedaulatan politik, memperkuat demokrasi yang bersih, dan melindungi kekayaan alam bangsa dari eksploitasi yang tidak adil.
Bagi generasi milenial, bela negara bukan sekadar memakai seragam militer, melainkan: Pertama, mengawasi demokrasi yakni dengan aktif mengawasi jalannya pemerintahan, mengawal kebijakan publik, dan melawan praktik korupsi serta oligarki.
Kedua, partisipasi politik aktif: Terlibat dalam diskusi kebijakan, berani menyuarakan aspirasi, dan mengambil peran sebagai pemimpin muda yang berintegritas. Ketiga, memahami sejarah dan konstitusi: mengkaji kembali sejarah perjuangan bangsa dan memahami filosofi UUD 1945 sebagai pijakan membangun masa depan. Dan keempat, inovasi dan teknologi: memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperkuat transparansi, mendorong akses informasi, dan membangun gerakan sosial yang mendukung perubahan positif.
UUD 1945 yang asli dirancang untuk memperkuat musyawarah dan mufakat, yang merupakan perwujudan dari sila keempat Pancasila. Sistem ini menjamin partisipasi semua elemen masyarakat melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merancang kebijakan pembangunan dan memilih pemimpin berdasarkan hikmat kebijaksanaan.
Generasi milenial, sebagai penerus bangsa, memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan sistem ini kembali ditegakkan. Ini adalah momentum untuk menolak sistem politik transaksional dan mengembalikan demokrasi yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Mengapa UUD 1945 penting untuk masa depan milenial? Alasannya yakni:
1) Keadilan Sosial yang Lebih Merata: Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Sistem ini memastikan bahwa generasi muda tidak mewarisi ketimpangan yang semakin tajam.
2) Visi Jangka Panjang: Mengembalikan GBHN akan memberikan arah pembangunan yang jelas dan stabil, menciptakan fondasi kuat bagi masa depan.
3) Pemberantasan Korupsi: Sistem pemilihan berdasarkan musyawarah dan mufakat meminimalkan praktik politik uang dan memperkuat pengawasan terhadap pemimpin.
4) Kesempatan Generasi Muda: Dengan menegakkan sistem representasi di MPR, peluang generasi milenial untuk terlibat dalam politik dan pengambilan keputusan akan semakin terbuka.
Ayo, Milenial Bangkit untuk Bela Negara! Reformasi konstitusi bukan sekadar perbaikan sistem, melainkan perjuangan untuk membangun bangsa yang lebih adil, makmur, dan berdaulat. Ini adalah panggilan bagi generasi milenial untuk mengambil peran sebagai garda terdepan dalam Bela Negara.
Menjaga UUD 1945 bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan strategi cerdas untuk merancang masa depan. Generasi milenial harus bersatu, memahami sejarah, dan memperjuangkan sistem yang memastikan Indonesia kembali ke jati dirinya sebagai bangsa yang berdaulat berdasarkan Pancasila.
Sudah waktunya kita bertanya: Apakah kita siap menjadi generasi yang mengembalikan kedaulatan rakyat dan menegakkan cita-cita kemerdekaan?
*Penulis adalah Pensiunan TNI AL, Pemerhati Masalah Kebangsaan
© Copyright 2024, All Rights Reserved