GENERASI milenial saat ini menghadapi tantangan besar dalam membela kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial di tengah derasnya arus oligarki yang semakin kuat pasca-amandemen UUD 1945. Salah satu contoh nyata dari dampak negatif perubahan konstitusi adalah lahirnya kebijakan kontroversial seperti UU Omnibus Law yang dinilai hanya memperkaya segelintir elite ekonomi dan menekan kesejahteraan rakyat kecil.
Pemerintah baru-baru ini menghapus batu bara dari daftar barang kena pajak (BKP) melalui UU Omnibus Law. Keputusan ini bukan sekadar kebijakan fiskal biasa, tetapi mencerminkan bagaimana sistem ekonomi yang diatur pasca-amandemen lebih menguntungkan oligarki dibanding rakyat. Akibatnya, negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp150 triliun per tahun dari sektor tambang batu bara.
Di sisi lain, untuk menutup defisit anggaran yang semakin membengkak, pemerintah justru menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, kebijakan yang dipastikan akan membebani rakyat kecil dan menengah. Inilah ironi terbesar dari sistem ekonomi pasca-amandemen: kaya semakin kaya, miskin semakin tercekik.
Amandemen UUD 1945 pada periode 1999–2002 membawa perubahan besar dalam tata kelola negara. Salah satu dampak utamanya adalah bergesernya sistem ekonomi dari yang semula berorientasi pada kesejahteraan rakyat (Pasal 33 UUD 1945) menjadi sistem yang lebih berpihak pada liberalisasi ekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 asli menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Namun, pasca-amandemen, pengelolaan SDA semakin berpihak pada pemodal asing dan oligarki domestik.
UU Omnibus Law, yang lahir di era pasca-amandemen, menghapus status batu bara sebagai barang kena pajak. Artinya, pengusaha tambang batu bara kini menikmati keuntungan besar tanpa kontribusi pajak yang seharusnya menjadi hak rakyat. Sementara itu, rakyat kecil dibebani kenaikan PPN 12 persen yang langsung mempengaruhi harga barang kebutuhan pokok.
Perubahan sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung memicu biaya politik yang sangat tinggi. Partai politik yang memegang kendali atas pencalonan pemimpin menjadi pintu masuk bagi pemilik modal untuk mendikte kebijakan publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan elite pemodal dibanding masyarakat luas.
Tanpa adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai panduan pembangunan jangka panjang, kebijakan pemerintah menjadi bersifat jangka pendek dan pragmatis. Setiap pemerintahan hanya fokus pada visi pribadi, bukan pada cita-cita besar bangsa yang telah dirancang oleh pendiri negara.
Dalam situasi ini, generasi milenial harus mengambil peran aktif sebagai garda terdepan Bela Negara. Bela negara tidak lagi hanya tentang senjata dan perang, tetapi juga tentang perjuangan ekonomi, hukum, dan kebijakan publik yang adil bagi semua rakyat Indonesia.
Milenial harus lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan oligarki dan melupakan hak-hak rakyat kecil. Kesadaran politik ini bisa dimulai dengan memahami kembali UUD 1945 yang asli dan memperjuangkan pemulihannya sebagai landasan hukum tertinggi.
Pasal 33 UUD 1945 memberikan model ekonomi yang berkeadilan sosial, di mana pengelolaan SDA diatur oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikuasai oleh pemodal asing atau domestik. Generasi muda harus memperjuangkan pengembalian model ekonomi ini demi keberlanjutan kesejahteraan bangsa.
Dengan kemajuan teknologi digital, milenial memiliki kekuatan untuk membangun gerakan sosial yang menentang praktik oligarki dan korupsi sistemik. Kampanye media sosial, petisi daring, dan diskusi publik bisa menjadi alat efektif untuk menekan perubahan kebijakan.
Generasi muda perlu lebih aktif memahami hukum dan konstitusi untuk mengawal kebijakan publik yang pro-rakyat. Pengetahuan ini akan memperkuat kemampuan mereka melawan kebijakan yang merugikan kepentingan nasional.
Mengapa Kembali ke UUD 1945 adalah Solusi? Karena hanya dengan itu kita bisa mengembalikan Kedaulatan Negara atas SDA. Dengan menerapkan kembali Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan kekayaan alam akan difokuskan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.
Kemudian, mencegah oligarki melalui Sistem Musyawarah dan Mufakat. Proses demokrasi yang berdasarkan musyawarah perwakilan akan menutup celah bagi politik uang dan transaksi mahar partai.
Kita juga bisa mengembalikan GBHN sebagai Panduan Pembangunan. Sistem perencanaan pembangunan jangka panjang akan memberikan arah yang jelas dan stabil, menjamin keberlanjutan program nasional yang pro-rakyat.
Selanjutnya, manfaat kembali ke UUD 1945 adalah memperkuat pengawasan terhadap eksekutif. MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan kembali berfungsi sebagai pengawas utama terhadap kebijakan eksekutif, mempersempit peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Kembali ke UUD 1945 adalah Bela Negara Modern
Saat ini, Indonesia berada di persimpangan jalan antara memperkuat demokrasi Pancasila atau terus terseret dalam pusaran oligarki yang menggerus kesejahteraan rakyat. Generasi milenial memiliki kekuatan dan tanggung jawab moral untuk menjadi garda terdepan dalam membela negara melalui perjuangan konstitusi yang lebih adil dan berkeadilan sosial.
Mengembalikan UUD 1945 bukanlah langkah mundur, melainkan loncatan besar untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia. Mari bergerak, kawal demokrasi, dan wujudkan cita-cita bangsa..!
*Penulis adalah Pensiunan TNI AL, Pemerhati Masalah Kebangsaan
© Copyright 2024, All Rights Reserved