Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan, agar dalam jangka waktu tiga tahun, dibentuk UU tersendiri yang mengatur tentang pengadilan khusus tindak pidana korupsi (tipikor).
Hal itu tercantum dalam putusan uji materiil UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diputuskan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/12). MK hanya mengabulkan satu dari sembilan pasal yang diajukan oleh para pemohon, yaitu pasal 53 UU KPK yang mengatur tentang pembentukan pengadilan khusus tipikor.
"Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para pemohon dapat dikabulkan sebagian sepanjang menyangkut substansi pasal 53 UU KPK, dan menolak permohonan selebihnya," kata Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, saat membacakan amar putusan.
MK menyatakan, pasal 53 UU KPK yang menyatakan "Dengan UU ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK", bertentangan dengan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2, pasal 24A ayat 5, serta pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
MK menilai, kenyataan yang terjadi dalam praktik di pengadilan umum dan pengadilan tipikor selama ini menunjukkan bukti adanya standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme pengadilan yang berbeda.
"Dilihat dari aspek itu, pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua lembaga jelas bertentangan dengan UUD 1945, sehingga adalah tidak tepat jika ada yang berpendapat bahwa pasal 53 UU KPK tersebut tindak bertentangan dengan UUD 1945," kata hakim anggota Achmad Roestandi saat membacakan putusan.
Meski menyatakan, pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, MK tidak langsung menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat setelah putusan diucapkan secara terbuka oleh majelis hakim konstitusi.
Apabila pasal 53 UU KPK langsung dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, MK menyatakan, maka pemeriksaan perkara tipikor oleh KPK dan pengadilan tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat, karena kehilangan dasar hukum.
"Hal demikian dapat menyebabkan proses pemberantasan korupsi mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus untuk terbentuknya aturan yang baru," tutur hakim anggota Maruarar Siahaan.
MK menetapkan, pasal 53 UU KPK tetap berlaku selama masa tenggang tiga tahun sejak putusan dibacakan, pada 19 Desember 2006.
Masa waktu tiga tahun itu, menurut MK, harus digunakan oleh pembuat UU untuk melakukan penyelarasan UU KPK dengan UU 1945 dan membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus yang merupakan satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi dapat dihilangkan.
Apabila tenggat tiga tahun yang telah ditetapkan MK tersebut telah jatuh tempo, menurut MK, maka pasal 53 UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan semua implikasi pelaksanaan pasal tersebut yang dilakukan setelah jatuh tempo menjadi batal demi hukum dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
"Sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan UU dimaksud sudah harus diselesakan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan korupsi," kata Jimly.
Selain pasal 53, MK menolak selebihnya permohonan uji materiil dari para pemohon, di antaranya soal kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan, tentang KPK yang tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), karena permohonan itu dianggap tidak beralasan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved