PRESIDEN Prabowo Subianto selesai mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung pada 18-19 November 2024 di Brasil. Pada sesi pertama tanggal 18 November 2024, mengangkat tema “Fight against Hunger and Poverty” para pemimpin dunia yang hadir mengangkat platform penting dengan dua isu mendesak (urgent), yaitu kelaparan dan kemiskinan.
Bagi Indonesia, isu dan permasalahan ini telah dimanifestasikan dalam visi-misi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin RI ke-8 yang telah dilantik sumpah dan janjinya pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (SP-MPR RI) pada 20 Oktober 2024.
Komitmen Energi Bersih Dunia
Tema lain di KTT G20 yang menjadi komitmen Presiden RI pada sesi berikutnya Selasa 19 November 2024, yaitu kesiapan Indonesia untuk mengakhiri seluruh pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batubara dalam 15 tahun ke depan. Hal itu kembali ditegaskan oleh Presiden RI pada pertemuan internasional tersebut yang dianggap bernilai positif bagi citra Indonesia dalam upaya mengurangi dampak energi kotor.
Namun, implementasinya tentu amat tidak mudah atau seperti membalikkan telapak tangan saja. Di satu sisi perlu ada pembangkit pengganti yang berbasis energi terbarukan serta pendanaannya bakal tergantung dari dukungan global.
Di sisi lain, Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada, Selasa 3 Desember 2024 menyatakan, bahwa terkait coal phase-out (penghapusan batu bara bertahap) atau ”suntik mati PLTU”, pihaknya membangun sejumlah kriteria. Yang pasti, dalam pelaksanaannya harus cost neutral demikian penegasan Dirut PLN sebagai pengemban amanat konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 untuk cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dengan demikian, jika terdapat penambahan investasi atau tambahan biaya yang menanggung bukan hanya pemerintah dan juga bukan PLN saja. Artinya, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ini merupakan permasalahan dan dampak global dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, dan bukan hanya beban bagi Indonesia saja. Lalu pertanyaannya, adalah seperti apa tahapan strategi dan prioritas "suntik mati" PLTU dan bagaimana halnya dengan perlakuan terhadap pembangkit Independent Power Producer (IPP) atau pembangkit batu bara milik swasta?
Yang lebih mengejutkan, mengacu pada Laporan Global Energy Monitor (GEM), bahwa negara-negara industri besar yang tergabung dalam G7 menyumbang 15 persen (310 GW) dari kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia. Ditambah dengan selesainya unit baru di Jepang pada 2023, G7 masih menjadi tempat bagi satu proposal di Jepang dan dua dijalankan di Amerika Serikat. Sedangkan, negara-negara yang tergabung dalam G20 merupakan rumah bagi 92 persen kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia (1.968 GW) dan 88 persen dari kapasitas batu bara pra-konstruksi (336 GW). Faktanya, justru negara-negara majulah penyumbang terbesar energi kotor dari pembangkit batu bara di dunia, kenapa negara yang sedang berkembang atau kelompok menengah yang didesak untuk "suntik mati" PLTU?
Di dalam negeri, berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia pada Semester I/2024 mencapai 93 gigawatt (GW) atau hingga Juni 2024. Rinciannya, yaitu sebesar 79,7 GW atau 85 persen merupakan pembangkit energi fosil, terdiri dari 49,8 GW atau 53 persen adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), 25,24 GW atau 27 persen adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), dan 4,64 GW atau 5 persen Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Sedangkan, jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mengikuti perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik fase pertama berjumlah 146 unit di tahun 2024.
Mengatasi Beban Over Supply
Sementara itu, menurut data PLN, pada 2023 kapasitas terpasang pembangkit listrik swasta atau independent power producer (IPP) di Indonesia mencapai 26,6 GW atau 28,6 persen dari total kapasitas nasional. Sejumlah 50 persen lebih IPP atau pembangkit swasta ini adalah PLTU yang bersumber dari batu bara.
Di samping PLTU milik IPP ini, terdapat lima diantara enam PLTU terbesar yang merupakan milik PLN dan mengaliri listrik di wilayah Pulau Jawa, seperti PLTU Paiton, PLTU Suralaya, PLTU Batang, PLTU Serang dan Cirebon. Pertanyaan selanjutnya, PLTU yang manakah harus "disuntik mati" terlebih dahulu sebagai prioritas pemerintah dan dari 146 unit peserta perdagangan karbon itu, berapakah jumlah pembangkit IPP atau milik swasta?
Hal ini penting untuk dikaji secara konstitusional dengan mematuhi ayat 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 terkait penguasaan negara yang dimandatkan kepada BUMN, yaitu PLN. Patriotisme dan Nasionalisme dalam konteks ini jelas berbeda secara diametral jika dikaitkan hanya memikirkan kepentingan pengusaha swasta nasional saja.
Apalagi, ditengah konsumsi listrik yang masih kelebihan pasok sebesar 26 persen (24,18 GW) BUMN PLN masih terikat pada perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dengan pengembang listrik swasta (IPP), khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Skema ini, sebaiknya juga dikaji ulang oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia supaya tidak "gebyah uyah" atau serampangan menindaklanjuti "suntik mati" PLTU atas perintah Presiden RI.
Dalam PPA ini, salah satu klausul yang diatur adalah mengenai denda. PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak, atau biasa disebut skema "Take Or Pay" (TOP). Sebagai contoh beban kelebihan pasok itu, adalah pembelian tenaga listrik dari pihak ketiga mayoritas berasal dari tiga pengembang listrik swasta utama, yaitu PT Paiton Energy, PT Jawa Power, dan PT Cirebon Energi Power.
Namun, pembelian listrik dari ketiga perusahaan swasta tersebut PLN harus mengeluarkan dana sejumlah Rp19,30 triliun lebih setiap periode. Biaya inilah yang selalu menjadi beban PLN dan tentu saja membebani masyarakat, khususnya konsumen pelanggan listrik.
Oleh karena itu, lebih masuk akal (rasional) berdasar konstitusi dan data faktual sasaran kebijakan "suntik mati" pembangkit sumber batu bara diprioritaskan untuk PLTU milik swasta (IPP). Sebab, pembangkit swasta (IPP) ini beroperasi di cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dengan laba atau keuntungannya hanya untuk orang per orang. Berbeda dengan BUMN PLN, laba yang diperolehnya diberikan untuk mengisi kas negara bagi kepentingan program pembangunan nasional.
Bahkan, dibandingkan dengan kebijakan impor migas dan BBM yang menguras devisa negara hingga Rp636,5 triliun lebih justru mengoptimalkan kelebihan pasokan listrik (over supply) ini akan lebih menunjukkan sikap patriotisme dan nasionalisme Presiden RI Prabowo Subianto yang konsisten dengan komitmen visi-misi Asta Cita-nya di sektor energi.
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
© Copyright 2024, All Rights Reserved