BAK buah simalakama keputusan "sulit" harus diambil oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto atas pelaksanaan Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021 HPP), khususnya terkait pasal Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani di satu sisi, menyatakan keteguhan tekadnya dengan dalih Undang-Undang untuk menaikkan PPN sebesar 12% (sebelumnya 10%, lalu April 2022 naik 11%) yang berlaku efektif 1 Januari 2025. Berbagai kelompok masyarakat telah mulai mengkritisi pemberlakuan kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% ini atau hanya selisih 1% saja, bahkan ada yang melakukan penolakan.
Di sisi yang lain pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang mengusung visi-misi Asta Cita belum genap tiga (bulan) atau 100 hari (80 hari saat tulisan ini dibuat) bekerja menjalankan perintah UU. Sementara itu, UU 7/2021 HPP tersebut telah disahkan dan berlaku sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan disetujui oleh 8 fraksi dari 9 yang menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Lalu, apa sikap dan kebijaksanaan yang harus diambil oleh pemerintah terkait posisi dilematis tersebut, apalagi Presiden berulang kali menyampaikan tidak akan memberatkan rakyat! Kebijaksanaan kepemimpinan atas suatu kebijakan yang terdapat pada UU tentu sangat dibutuhkan selain ketegasan sikapnya.
Berikut beberapa pertimbangan mendasar konstitusional tanpa bermaksud mendahului kewenangan Presiden Prabowo Subianto dalam menyikapi polemik yang tengah berlangsung di lingkungan publik.
Pertama, UU merupakan perintah konstitusi yang telah dimandatkan oleh lembaga legislatif dan harus ditaati oleh lembaga eksekutif konsekuensinya harus konsisten ditegakkan serta dijalankan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Penundaan pelaksanaan UU hanya mungkin dilakukan jika terjadi keadaan kondisi genting atau darurat (force majeure). Pertanyaannya, apakah saat ini pemerintahan dalam posisi yang genting, memaksa dan atau darurat?
Kedua, jika Presiden Prabowo Subianto mengambil keputusan pembatalan atas kenaikan PPN 11% menjadi 12% ini tentu akan dianggap akomodatif atas aspirasi sebagian kepentingan publik (populis). Namun, pembatalan sebuah kebijakan yang telah ditetapkan oleh UU akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto sehingga dianggap begitu mudah mengubah ketentuan oleh desakan publik!
Hal ini jelas tidak menguntungkan posisi Presiden sebagai Kepala Negara apalagi sebagai Kepala Pemerintahan telah memiliki para pembantu yang akan mencarikan penyelesaian. Meskipun, faktanya banyak para Menteri berwenang "diam" saja terkait isu kenaikan PPN 12% ini, atau lebih fatal ada Menteri justru malah mengaitkannya dengan anggaran program makan bergizi gratis yang sama sekali tidak relevan.
Lalu, apa yang harus ditempuh oleh Presiden Prabowo Subianto agar ketetapan UU dapat tetap dijalankan dan kepentingan publik untuk berpartisipasi dalam perekonomian bangsa dan negara tetap tumbuh dan meningkat? Tidak lain UU 7/2021 HPP harus tetap dijalankan termasuk kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% secara konsisten dengan memperhatikan pertimbangan kesehatan keuangan negara khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hanya saja, Presiden Prabowo Subianto harus memerintahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar segera menyusun kebijakan teknis terkait klasifikasi selektif atas pemberlakuan PPN 12% tersebut melalui Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Dengan demikian, usulan DPR RI atas pemberlakuan PPN 12% hanya untuk kelompok barang mewah apa saja menjadi jelas dan terang. Polemik dan pro-kontra kenaikan PPN 12% dapat diakhiri dan preseden buruk kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto atas penegakan UU tidak terjadi.
Selain itu, juga ada catatan bagi DPR RI atas penyusunan UU agar tidak lagi mencantumkan besaran perubahan persentase keekonomian dan waktu pemberlakuan UU yang secara teknis merupakan domain eksekutif. Apalagi kondisi perekonomian dunia (global) dan regional tingkat pertumbuhan ekonominya tidak stabil dan penuh ketidakpastian serta setiap waktu mengalami perubahan.
Maka, perubahan PPN menjadi 12% sebagaimana halnya kenaikan harga-harga komoditas yang telah terjadi di pasar selama ini serta tanpa penolakan publik adalah sesuatu yang lumrah dan tidak perlu dipolitisasi untuk kepentingan sesaat! Yang terpenting harus dipastikan oleh Presiden Prabowo Subianto beserta jajaran kabinetnya, yaitu pajak yang dipungut oleh negara betul-betul digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat bukan dikorupsi para pejabat!
Termasuk dalam hal ini, adalah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang operasinya berpotensi mengatasi masalah keuangan negara tapi selama ini tidak berkinerja positif oleh perilaku perdagangan terselubung (insider trading) juga harus segera dibenahi! Semoga ini menjadi penyelesaian menang-menang (win-win solution) bagi rakyat Indonesia dan pemerintahan.
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
© Copyright 2025, All Rights Reserved